Sidang perkara ini dipimpin hakim konstitusi, Arief Hidayat, didampingi dua hakim konstitusi lainnya, yaitu Suhartoyo dan Wahiduddin Adam.
"Jadi, perbaikan permohonan secara tertulis sudah diterima di kepaniteraan. Majelis panel sudah membaca sehingga, tidak perlu disampaikan keseluruhan. Pokok perubahan saja," kata Arief Hidayat, saat sesi persidangan.
Sementara itu, Muhammad Isnur menyampaikan ada lima poin perubahan dari permohonan yang sudah disampaikan.
"Pertama, pembentuk undang-undang melakukan penyelundupan hukum dalam proses perencanaan dan pembahasan perubahan kedua UU KPK," kata Isnur, kepada majelis hakim konstitusi.
Pada berkas permohonan perbaikan, pihaknya mengungkapkan bagaimana modus penyelundupan yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang atau dalam hal ini DPR RI.
"Kami membuatkan chart atau diagram pembahasan yang tidak lebih dari 14 hari," kata dia.
Selain membeberkan modus penyelundupan hukum berupa terbitkannya UU KPK hasil revisi, dia membeberkan soal pembentukan aturan itu yang tidak partisipatif.
Dalam hal ini, kata dia, DPR RI tidak melibatkan KPK dan perwakilan elemen masyarakat selama proses pembahasan UU tersebut.
Lalu, pada saat pengambilan keputusan pengesahan UU, dia melanjutkan, sidang paripurna tidak kuorum.
Terakhir, pihaknya menemukan fakta bahwa pembentuk undang-undang menggunakan naskah akademik fiktif yang tidak memenuhi syarat perencanaan perubahan kedua UU KPK.
"Kami menemukan fakta di halaman 1, 2 naskah akademik 2019 di halaman 3 sampai berikutnya menggunakan naskah akademik 2011," ungkapnya.
Semua temuan adanya dugaan penyelundupan hukum itu, kata dia, dilengkapi bukti-bukti pendukung.
"Kami sudah kumpulkan video bukti sesuai saran yang mulia," kata dia.
Mengingat adanya dugaan cacat formil selama proses pembentukan UU itu, dia mengharapkan, agar UU KPK hasil revisi dinyatakan tidak berlaku.