TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menggelar sidang perkara pencucian uang hasil suap sengketa pilkada yang menjerat terdakwa Muhtar Ependy.
Pada Kamis (23/1/2019) ini, sidang beragenda pemeriksaan saksi. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mochtar dihadirkan ke persidangan.
Di persidangan, Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi menayangkan foto-foto Muhtar duduk di ruangan kerja Ketua MK di gedung MK.
Salah satu hakim anggota persidangan menanyakan terkait foto di ruangan tersebut kepada Akil.
"Tadi yang saya lihat di gambar. Itu kursi utama saudara?" tanya hakim anggota kepada Akil di ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (23/1/2020).
Akil membenarkan adanya foto itu.
"Betul," jawab Akil.
Baca: Mantan Aspidum Kejati DKI Agus Winoto Dituntut 6 Tahun Penjara
"Akrab saudara dengan terdakwa sehingga berani-beraninya duduk di kursi saudara," tanya hakim.
"Saya tidak tahu. Jadi begini. Ini begini meja saya yang bersangkutan di sini saya ke kamar mandi saya bisa ditanyal langsung sama yang bersangkutan mungkin berfoto di situ kan kosong makanya saya baru tahu foto di situ. Gitu loh pak. Kalau yang di depan pintu itu betul saya ada pas mau keluar mau pulang. Silakan tanya yang bersangkutan," jawab Akil.
Di kesempatan itu, Akil mengaku kenal dengan Muhtar. Akil mengenal Muhtar sebagai pengusaha percetakan untuk alat-alat peraga kampanye.
Namun, dia mengaku, tidak berhubungan secara langsung dengan Muhtar.
Baca: Terjerat Kasus Korupsi, Emirsyah: Saya Khilaf
"Itu tidak (berhubungan,-red) langsung. Kan melalui tim sukses saya bagian alat peraga. Tidak pernah (berhubungan langsung,-red)" kata Akil.
Akil mengungkapkan pernah dua kali bertemu dengan Muhtar di gedung MK. Di luar pertemuan di gedung MK, dia mengaku tidak pernah bertemu Muhtar.
"Yang kedua dia datang kasih ucapan selamat karena saya terpilih menjadi ketua MK. (pertemuan,-red) Di ruangan pimpinan," tambahnya.
Untuk diketahui, Muhtar Ependy, didakwa baik sendiri atau bersama-sama dengan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar, melakukan pencucian uang untuk menyamarkan hasil korupsi yang dilakukannya bersama Akil.
Caranya, menurut jaksa, Ependy menitipkan uang sekitar Rp 21,42 miliar dan 816.700 dollar AS kepada seorang bernama Iwan Sutaryadi.
Kemudian, dia menempatkan uang sebesar Rp 4 miliar di rekening BPD Kalbar Cabang Jakarta; mentransfer uang Rp 3,86 miliar dari rekening di BPD Kalbar ke rekening BNI Cabang Pontianak atas nama CV Ratu Samagat.
Kemudian, menempatkan uang sebesar Rp 11,09 miliar di rekening BPD Kalbar, Rp 1,5 miliar di rekening BCA atas nama Lia Tri Tirtasari, Rp 500 juta di rekening Bank Panin atas nama PT Promic International dan uang Rp 500 juta di rekening BCA atas nama Muhtar Ependy.
Selanjutnya, mentransfer uang berjumlah Rp 7,38 miliar ke sekitar 8 rekening pihak lain; membeli bahan baju hyget dengan harga Rp 500 juta; membeli kain bendera dengan harga Rp 500 juta; membeli 25 unit mobil dan 31 motor dengan harga keseluruhan sekitar Rp 5,32 miliar.
Baca: Mantan Sekretaris Ditetapkan Tersangka, Ini Tanggapan Mahkamah Agung
Berikutnya, membeli tanah dan bangunan yang terletak di Desa Sedau, Kabupaten Bengkayang senilai Rp 1,2 miliar; di Desa Waluran, Jawa Barat senilai Rp 50 juta; di Kelurahan Serdang, Jakarta Pusat senilai Rp 1,35 miliar; di Kelurahan Cempaka Putih, Jakarta Pusat senilai Rp 3,5 miliar dan di Desa Karangduwur, Jawa Tengah senilai Rp 217 juta.
Serta, dia memberikan piutang senilai Rp 1 miliar ke PT Intermedia Networks.
Menurut jaksa, sumber dana pencucian uang itu berasal dari mantan Wali Kota Palembang Romi Herton dan mantan Bupati Empat Lawang Budi Antoni Aljufri.
Dalam dakwaan pertama Ependy, ia dan Akil disebut menerima uang sekitar Rp 16,42 miliar dan 316.700 dollar Amerika Serikat (AS) dari Romi Herton dan istrinya Masyito.
Uang tersebut terkait permohonan keberatan atas hasil Pilkada Kota Palembang.
Kemudian keduanya juga disebut menerima uang Rp 10 miliar dan 500.000 dollar AS dari Budi Antoni Aljufri. Uang tersebut terkait permohonan keberatan atas hasil Pilkada Kabupaten Empat Lawang.
Baca: 6 Kasus Korupsi Besar yang Ditangani Novel Baswedan dan Libatkan Banyak Pejabat Publik
Muhtar Ependy didakwa melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Sebelumnya, Ependy sudah divonis lima tahun penjara dan denda sebesar Rp 200 juta subsider tiga bulan kurungan oleh majelis hakim pada tahun 2015 silam.
Saat itu, majelis hakim menganggap Ependy terbukti memberikan kesaksian palsu dan mengarahkan saksi untuk memberikan keterangan tidak benar dalam sidang Akil.
Adapun Akil Mochtar diketahui divonis seumur hidup setelah Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasinya.
Baca: Mantan Bupati Buton Penyuap Akil Mochtar Dapat Potongan Hukuman
Permohonan kasasi ditolak antara lain dengan pertimbangan bahwa Akil Mochtar adalah seorang hakim MK yang seharusnya merupakan negarawan sejati dan steril dari perbuatan tindak pidana korupsi.
Akil Mochtar divonis seumur hidup dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi penerimaan hadiah terkait pengurusan 10 sengketa Pilkada di MK dan tindak pidana pencucian uang.