Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sidang perkara Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan kasasi Mahkamah Agung Nomor: 1555 K/Pid.Sus/2019 tanggal 9 Juli 2019 atas nama terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung kembali digelar.
Pada Jumat (24/1/2020) ini, Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi menghadirkan ahli pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar.
"Tadi ditegaskan ahli pidana formil dan materiil. Yang ingin kami tanyakan terkait upaya hukum PK. Pertama, dari sisi pihak pihak mana saja bisa mengajukan upaya hukum. Kedua, kami tanyakan berkaitan materi atau alasan pengajuan PK," kata Haerudin, seorang JPU pada KPK, di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Baca: ICW Laporkan Menkumham Yasonna Laoly ke KPK: Ada Keterangan yang Tidak Benar
Sementara itu, Abdul Fickar Hadjar menjelaskan syarat pengajuan PK diatur di Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
"Saya tidak bilang jaksa itu boleh PK, pada seluruh perkara. Tetapi di KUHAP itu diatur yang bisa di PK itu pertama putusan menghukum yang bukan putusan bebas dan lepas yang boleh mengajukan narapidana atau ahli waris. Kedua, (pasal 263 KUHAP,-red) ayat 3, putusan yang terbukti itu pidana tetapi tidak ada pemidanaan," kata dia.
Baca: Komisioner KPU Hasyim Asyari Dapat Surat Panggilan dari KPK Terkait Kasus Suap Wahyu Setiawan
Selain itu, mengacu pada Pasal 263 ayat 3 KUHAP, kata dia, para pihak boleh mengajukan PK sesuai aturan perundang-undangan.
Untuk Pasal 263 ayat 3, dia mengungkapkan tidak disebut legal standing.
"Ini para pihak. Siapa legal standing para pihak tidak terikat. Di perkara (Syafruddin Arsyad Temenggung,-red) itu korban atas nama kepentingan umum diwakili jaksa," tambahnya.
Untuk diketahui, Jaksa pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), selaku pemohon, membacakan memori peninjauan kembali (PK) terhadap putusan kasasi Mahkamah Agung Nomor: 1555 K/Pid.Sus/2019 tanggal 9 Juli 2019 atas nama terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung.
Baca: KPK Jadwal Ulang Panggil Zulkifli Hasan Jadi Saksi Kasus Suap Alih Fungsi Hutan di Riau
"Upaya hukum luar biasa dan terakhir untuk menemukan keadilan materiil dimaksudkan untuk mengoreksi keputusan yang keliru," kata Haerudin, Jaksa pada KPK, Kamis (9/1/2020).
Setidaknya terdapat dua poin yang menjadi landasan jaksa mengajukan memori PK.
Pertama, anggota majelis hakim melanggar prinsip imparsialitas dalam memutus perkara. Kedua, terdapat kontradiksi antara pertimbangan dengan putusan.
Haerudin mengungkapkan salah satu anggota majelis hakim perkara kasasi, Syafruddin Arsyad Temenggung kerap kali berkomunikasi dengan Ahmad Yani, selaku kuasa hukum Syafruddin Arsyad Temenggung berdasarkan Surat Kuasa No. 01/TPH-SAT/SK/I-2019 tanggal 10 Januari 2019.
"Sebelum perkara diputus ditingkat kasasi, berdasarkan (call data record,-red) terdapat beberapa kali komunikasi antara hakim ad hoc Syamsul Rakan Chaniago dan Ahmad Yani, selaku penasihat hukum terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung," ungkapnya.
Adapun, poin kedua, terdapat kontradiksi antara pertimbangan dengan putusan.
"Bahwa dalam amar putusannya majelis hakim menyatakan perbuatan terdakwa terbukti sebagaimana surat dakwaan Penuntut Umum, tetapi bukan merupakan tindak pidana. Hal ini bertentangan dengan pertimbangan putusan perkara a quo," kata dia.