TRIBUNNEWS.COM - Pemerhati politik, Rocky Gerung menyoroti kasus penghinaan oleh Zikria Dzatil (43) terhadap Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini.
Sebelumnya, Zikria Dzatil, seorang ibu rumah tangga yang dianggap menghina Wali Kota Surabaya, Risma.
Hal tersebut dilontarkan Zikria Dzatil pada laman akun Facebook pribadinya.
Tersangka mengupload foto Wali Kota Surabaya, Risma dengan memberi keterangan penghinaan.
Wali Kota Surabaya, Risma pun akhirnya melaporkan tersangka kepada pihak kepolisian atas dugaan kasus penghinaan.
Kini kasus tersebut berakhir dengan perdamaian.
Menanggapi kasus yang sempat ramai diperbincangkan publik tersebut, Rocky Gerung pun buka suara.
Rocky Gerung menganggap bahwa publik figur harus menanggung resiko untuk diperbincangkan masyarakat termasuk mendapat kritikan pedas hingga penghinaan.
"Saya kira sering kali melebihkan, orang nggak bisa bedakan dia figur publik. Sekali dia jadi figur publik seluruh perilakunya itu harus dia biasakan untuk dibully," ujar Rocky Gerung dilansir kanal Youtube Rocky Gerung Official, Senin (10/2/2020).
Menurut Rocky seorang tokoh negara atau publik figur pasti rentan mendapat hinaan.
"Kalau rakyat marah dan dibuatkan meme atau hinaan semacam itu ya dianggap aja itu semacam bukan poin yang personal," kata Rocky.
Lebih lanjut, sosok Risma merupakan orang yang sangat dinamis sehingga membuka celah orang untuk memberikan semacam kritik hingga berlebihan.
Jika penghinaan kepada Risma dianggap sebuah hal yang berlebihan, maka ia pun memberikan perbandingan dengan sikap Risma yang dinilai juga berlebihan.
"Kalau misalnya, saya lihat Bu Risma ngatur lalu lintas tuh. Menurut saya itu juga berlebih gitu kan, itu artinya mengambil alih tugas orang lain,"
"Tapi Ibu Risma bilang, 'Itu karena bawahan saya malas, saya turun ke jalan tuh!' Kan ada hal-hal yang tidak pas sebetulnya kan," papar Rocky.
Rocky berpendapat bahwa tugas wali kota semestinya membuat kebijakan.
Ia pun menyinggung sebuah teori komunikasi publik tentang publik figur yang memang ditakdirkan untuk mendapat kritik bahkan hinaan oleh publik.
Baik itu penggemar maupun orang yang tidak suka terhadap yang diperbincangkan.
Selanjutnya, disinggung mengenai perbedaan kritik dan hinaan, Rocky menyebut jika tidak bisa dibedakan.
"Nggak bisa dibedain. Di dalam soal kebijakan publik itu sinisisme dianggap kritik juga itu. Kadang kala dianggap menghina juga," kata Rocky menyangkal.
Ia menjelaskan, peran meme sebenarnya adalah bentuk kritik sosial.
Dalam menyikapi meme, Rocky berpendapat seharusnya diposisikan sebagai sebuah parodi.
Seperti halnya sosok Risma yang dikatakan tersangka Zikria Dzatil sebagai katak betina yang berenang.
Bagi Rocky, kasus tersebut bukanlah sebuah hinaan yang mesti ditanggapi serius.
"Ya oke, itu parodi aja itu," tegas Rocky.
Perbandingan Penghinaan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dengan Presiden AS Donald Trump
Rocky pun membandingkan penghinaan yang diterima Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump dengan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini.
Di Amerika Serikat pernah terjadi kasus penghinaan terhadap Presiden AS dengan membawa simbol sebuah boneka replika Donald Trump yang dianiaya.
"Lebih gila lagi tuh (di AS), (boneka replika Donald Trump) digeret, jalan terus ditempeleng-tempeleng mukanya. Ditendang bokongnya. Ya biasa aja tuh," kata Rocky.
Ia membantah penghinaan yang terjadi di Indonesia dikaitkan dengan budaya Timur yang semestinya melekat dengan warganya.
Menurut Rocky sikap penghinaan dalam asas demokrasi tidak bisa membawa dalih dengan memperbandingkan budaya Timur dan budaya Barat yang terjadi seperti di Amerika Serikat.
"Begitu kita bilang demokrasi, seluruh relasi kita berubah berdasarkan konser demokrasi. Ya oke kita kasih kritik,"
"Sebab kalau engga, demokrasi lama-lama nggak boleh kritik presiden karna kita orang Timur,"
Menurutnya presiden itu dipilih oleh rakyat bukan keturunan.
Rocky pun menyinggung mengenai istilah Despotisme Timur.
Ia menjelaskan kultur dalam pergaulan di Indonesia memang budaya Timur, namun tidak bisa untuk masalah demokrasi dalam hubungan publik.
"Aturannya ada, kultunya ada. Jadi di dalam demokrasi berlaku prinsip bahwa pimpinan publik pasti harus tahan dicerca oleh publik," katanya.
"Itu konsekuensinya. Terimalah itu. Nggak usah dianggap itu sebagai hinaan," imbuhnya.
Ia mengimbau agar publik figur dan tokoh masyarakat harus mempunyai telinga yang tebal, batin cukup lebar untuk menerima kritik.
Selain itu, juga perlu pikiran yang luas untuk membedakan mana sindirian, kritik, dan hinaan.
"Dan otak cukup bening untuk membedakan mana sebetulnya sindiran, mana yang disebut hinaan, mana yang sekadar satire," pungkasnya.
(Tribunnews.com/Nidaul 'Urwatul Wutsqa)