Bahkan, dia menjelaskan, setelah sampai di Suriah, mereka melawan, menentang dan menebar ancaman kepada negeri asal mereka sendiri, Indonesia.
"Terus kenapa sekarang merengek-rengek minta pulang?" tegas Gus Yaqut.
Lebih lanjut ia menilai, pemerintah berkewajiban melindungi jutaan warga negara daripada memulangkan 689 eks WNI yang sudah berbaiat ke ISIS.
"Karena bukan tidak mungkin justru mereka itu akan menjadi ancaman ketika pulang kembali ke Indonesia," tegasnya.
Apalagi dia tidak yakin program deradikalisasi yang dilakukan akan mampu menobatkan 689 eks WNI tersebut.
Dia mencatat, pernah ada sepasang suami isteri, deportan ISIS tahun 2017 lalu dari Turki di tampung Kementerian Sosial (Kemensos) untuk dideradikalisasi.
Sepasang suami isteri itu bernama Ruli dan Ulfah Handayani.
Namun lanjut dia, mereka kabur dan melakukan bom bunuh diri di Gereja Katedral Katolik Jolo Filipina, beberapa waktu lalu.
"Ini mejunjukkan program deradikalisasi tidak bisa menjadi jaminan, setelah mereka kembali ke Indonesia akan menjadi warga negara yang baik. Sekali lagi, keputusan pemerintah menolak kepulangan mereka sudah tepat," tegasnya.
Virus Terorisme
Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Fraksi Partai Golkar Ace Hasan Syadzily menilai tepat pemerintah tidak memulangkan 689 eks Warga Negara Indonesia (WNI) yang pernah bergabung dengan ISIS.
"Keputusan pemerintah sudah sangat tepat untuk tidak memulangkan eks WNI yang terlibat ISIS," ujar Ketua DPP Golkar ini kepada Tribunnews.com, Selasa (11/2/2020).
Ace menilai, keputusan pemerintah itu sebetulnya justru untuk menjaga agar negara Indonesia tidak terkontaminasi dengan "virus" terorisme yang telah menjangkit mereka.
"Kebijakan ini tentu sejalan dengan apa yang selama ini kami sampaikan. Kita jangan mengambil resiko yang besar jika belum mampu untuk menangkal sistem pembinaan kombatan anggota teroris seperti ISIS," jelas Ace.