TRIBNNEWS.COM, JAKARTA - Kisah getir para kepala sekolah dan tenaga pengajar yang sampai rela mengorbankan hartanya dengan cara menggadaikan dan mencari utangan, bukan isapan jempol.
Banyak para sekolah guru sukarelawan yang menuturkan kisah ini pada Tribun Network.
Kepala SMPN 2 Garut, Jawa Barat, Budi Suhardiman mengakui kisah pilu yang dikemukakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim itu.
Menurutnya, banyak para kepala sekolah di Garut yang rela menggadaikan BPKB mobil dan motor atau sertifikat demi kelangsungan belajar. Ada pula yang meminjam emas.
"Kalau sekolah di pinggiran, mereka susah mencari pinjaman ke pihak lain, akhirnya ya menggadaikan apa yang mereka punya dan berharga," kata kepala sekolah yang juga Ketua Asosiasi Kepala Sekolah Cabang Garut ini, Rabu (12/2).
Tak sedikit pula, kata Budi yang bergelar doktor ini, sekolah yang tak bisa apa-apa. Pinjam tidak bisa, karena berada di pinggiran, lalu kepemilikan harta pun terbatas, akhirnya seadanya, yang penting proses belajar berlangsung.
Baca: Menangis Histeris di Depan Hotman Paris, Karen Pooroe Pukul Diri Sendiri Saat Lihat Anak Jadi Mayat
"Kalau di sekolah yang saya pimpin, meminjam ke komite sekolah, itu pun tidak cukup," tuturnya.
Pihak sekolahnya meminjam Rp 23 juta. Uang tersebut terutama digunakan untuk keperluan membayar honor guru dan staf tata usaha sukarelawan, juga penjaga sekolah, yang totalnya berjumlah 16 orang.
"Kan keperluan mereka tak bisa ditunda-tunda, kasihan kalau sampai terlambat," katanya, sambil menyebutkan di sekolahnya ada 1050 murid, dan menerima dana BOS 200 juta.
Pinjam ke Istri
Kepala SMPN 4 Subang, Jawa Barat, Edi Badrisyeh beda lagi. Selama jadi kepala sekolah, ia sudah tahu tradisi keterlambatan dana BOS. Apa daya, honor guru sukarelawan dan kegiatan siswa tak bisa ditunda, maka jalan keluarnya merogoh kocek pribadi.
"Saya selalu menyiapkan tabungan dana pribadi 80 sampai 100 juta rupiah untuk keperluan menutupi keterlambatan dana BOS. Bendahara sekolah juga sama. Itu konsekwensi saya sebagai pimpinan," katanya saat dihubungi Tribunnews.com, Kamis (13/2/20).
Edi tak mau anak buahnya, para guru, terutama guru sukwan, mengetahui soal pengorbanannya mengeluarkan uang pribadi. Ia ingin para guru tetap fokus di kelas, memberi pelajaran pada siswa.
"Saya memprioritaskan mereka untuk fokus ke kelas, biar saya yang nanggung soal biaya. Itu resiko pimpinan. Kan nanti juga kalau cair dibayar," kata alumni UPI dan pasca sarjana, Uninus ini.
Edi menyebutkan, uang itu di antaranya meminjam dari istrinya juga. Dana talangan itu ia gunakan untuk honor sukwan dan kegiatan siswa.