Laporan Wartawan Tribunnews.com, Willy Widianto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dunia kini memiliki empat kekuatan ekonomi besar.
Mereka adalah AS, China, Jepang dan India.
Keempatnya saling berebut pengaruh kekuatan ekonomi dunia.
Di tengah pusaran empat besar kekuatan dunia tersebut pemerintah RI diminta tetap waspada dan tidak terlena, sembari fokus membenahi perekonomian dalam negeri.
"Jangan sampai terlena dengan senantiasa membenahi perekonomian domestik. Fokus upaya seperti ini, memang tetap sangat diperlukan. Namun demikian, jangan pemerintah menjadi lengah atau terlupa dengan posisi maupun potensi nilai keekonomian di tengah perebutan pengaruh kekuatan ekonomi besar dunia, "ujar Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Marwan Jafar kepada Tribun, Senin(17/2/2020).
Menurut Marwan, jika secara geopolitik ekonomi pemerintah lupa atau tidak menyadari di mana sesungguhnya posisi strategisnya, kita hanya tinggal menjadi penonton di tengah pertarungan para raksasa ekonomi itu.
Ia mengungkapkan, indikasi tumbuhnya kesadaran geopolitik tersebut terutama saat era Presiden KH Abdurrahman Wahid menggagas dan mewujudkan Kementerian Kelautan dan Perikanan seperti kita kenal sekarang yang berupaya mengembalikan potensi besar kemaritiman.
"Kita perhatikan dengan nuansa dan dinamika yang variatif, mestinya pemerintah tetap memperkuat fondasi perekonomian nasional buat merespon perkembangan perebutan pengaruh perekonomian global yang makin tak terhindarkan. Terkait hal ini, saya kira langkah-langkah pemerintah sudah cukup signifikan," ujar Marwan.
Secara kronologis, tambahnya, perebutan pengaruh pemain besar ekonomi dunia mutakhir, bisa dicatat momentumnya sejak tahun 2007 saat PM Jepang Shinzo Abe berpidato di depan parlemen India berjudul 'Confluence of the Two Seas' seraya menyebut potensi Indo Pasifik.
Lalu, bulan November 2011 Presiden AS Barack Obama menetapkan kebijakan 'Pivot to the Pacific' atau Rebalancing toward Asia dengan maksud terutama merespon kebangkitan ekonomi China.
Disusul pada bulan Oktober 2013, Presiden China Xi Jinping mengenalkan kebijakan ekonomi yang ia sebut 'Jalur Sutera Maritim' (Maritime Silk Road) pada pidato 30 menit di forum resmi DPR RI yang dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
"Jangan lupa juga, pada forum Konferensi Tingkat Tinggi Asia Timur di Naypyidaw, Myanmar, November 2014 Presiden Ke-7 RI Joko Widodo menyampaikan pidato kenegaraan bertema 'Poros Maritim Dunia'," ujarnya.
Boleh jadi lanjut Marwan peristiwa itu penting serta sudah jadi legalitas alias masuk sebagai lembaran kenegaraan.
Tapi perlu dipertanyakan, apakah pidato tersebut sudah mendefinisikan posisi geopolitik ekonomi Indonesia dan terjabarkan secara operasional menjadi panduan bagi jajaran di pemerintah?
"Saya, sih, percaya sudah," ujarnya.
Mantan Menteri Desa-PDTT ini juga berpendapat, penting bagi pemerintah menjadikan ide presiden di konferensi internasional tersebut sebagai strategi besar menempatkan posisi tawar ekonomi Indonesia secara geopolitik.
Utamanya terkait memasarkan produksi berbagai sumber daya alam dan energi serta memberikan respon melalui gagasan Poros Maritim Dunia (Global Maritime Nexus).
Terkait hal itu, tentu saja melalui berbagai diplomasi internasional, diharapkan publik juga makin mengetahui sejumlah kebijakan dan program pemerintah khususnya di bidang perdagangan, industri, investasi dan tekad menjadikan BUMN Indonesia kelas dunia misalnya serta kemampuan bersaing sedang dan terus dilakukan secara serius.
Sejumlah kalangan mulai dari pengusaha UKM, menengah hingga swasta besar juga sudah saatnya turut menyadari betapa mendesak, strategis dan sangat pentingnya menjadikan pendekatan posisi geopolitik ekonomi sebagai tekad berbisnis mereka.
"Tanpa menyadari pendekataan itu, kita bakal ketinggalan kereta perdagangan dunia," tutup Marwan. (Willy Widianto)