"Karena dasarnya pernikahan itu suka sama suka, karena adanya cinta."
"Jika pernikahan itu bisa menimbulkan kesetaraan, misalnya ketika orang kaya menikahi orang miskin, ia akan tetap menghargai harkat dan martabat dari orang miskin, maka tidak akan menjadi masalah," jelas Adib kepada Tribunnews.com melalui sambungan telepon.
Baca: Soal Tagih Utang Berujung Disidang, Istri Kombes Sebut Transferan Rp 70 Juta Untuk Beli Tas Channel
Menurutnya pernikahan tersebut bisa dianjurkan dengan alasan sesuai dengan sila kedua Pancasila, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab.
Lebih lanjut, Adib menjelaskan ada cara lain untuk mengatasi kemiskinan selain pernikahan yaitu pendidikan yang mumpuni.
"Karena kalau pendidikan tinggi maka orang bisa bekerja dengan baik, ditunjang dari keterampilan dan keahlian yang ia miliki," ungkap psikolog dari www.praktekpsikolog.com yang berkantor di Bintaro, Jakarta Selatan itu.
Di sisi lain, faktor motivasi seseorang untuk meraih pendidikan yang tinggi pun perlu dipertimbangkan.
"Pasalnya ketika anak sejak balita hingga bersekolah kemudian berkuliah, motivasi itu terbentuk dari lingkungan dan keluarga dekat."
"Karena pendidikan dan motivasi dari orang sekitar bisa mempengaruhi masa depan seseorang," tegasnya.
Baca: Viral Anjuran Obat Isosorbide Dinitrate Untuk Pertolongan Pertama Serangan Jantung, Benarkah?
Menurut Adib, keputusan negara ingin melakukan 'gerakan moral' orang kaya menikahi orang miskin itu sah-sah saja.
"Kalau negara mau melakukan itu ya sah-sah saja, memang cara mengatasi kemiskinan dengan pernikahan itu langkah yang revolusioner."
"Artinya ada perubahan yang signifikan atau cepat dengan pernikahan. Pasti akan timbul pro dan kontra apakah benar bisa atasi kemiskinan," jelasnya.
Sebabnya, negara diharapkan bisa mengkaji dengan sebaik-baiknya apabila mengambil langkah yang revolusioner tersebut.
(Tribunnews.com/Maliana, Kompas.com/Rakhmat Nur Hakim)