TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sudah saat Indonesia bukan lagi saatnya membahas minimnya minat baca, namun bagaimana menyediakan buku bacaan yang diminati.
Ini diungkapkan Kepala Perpustakaan Nasional, Muhammad Syarif Bando jelang Rakornas Bidang Perpustakaan 2020 di Executive Lounge Lt. 24 Gedung Fasilitas Layanan Perpusnas, Jumat, (21/2/2020).
"Jangan ribut lagi masih rendahnya minat baca. Sekarang bagaimana menyediakan buku bacaan yang diperlukan sesuai kebutuhan masyarakat," katanya.
Dikatakannya, di wilayah perkotaan atau di Jawa, memang sangat mudah mendapatkan buku bacaan, namun saat di perbatasan sangat susah.
Pekerjaan rumah lainnya, adalah penyeragaman apa yang dimaksudkan dengan literasi.
Saat ini definisi literasi masih belum melembaga secara nasioanal atau diterima umum.
"Misalnya ada yang berpendapat minat baca selama 15 menit per sudah dikatakan literasi. Jadi perlu ada kesepakatan," katanya.
Inovasi dan Kreativitas Pustakawan Dalam Penguatan Budaya Literasi Mewujudkan SDM Unggul Menuju Indonesia Maju
Baca: Epson Turut Lestarikan Sejarah Lewat Digitalisasi Arsip Perpustakaan Reksa Pustaka
Baca: Potret Perjuangan Prajurit Kodim Mengubah Motor Dinas Menjadi Perpustakaan Keliing
Ia menambahkan, terkait perpustakaan, tidak hanya sebatas menyediakan buku bacaan saja tapi bagaimana berperan dalam mengakselerasi dan menjadi bagian dari proses pembangunan dan kemajuan negara.
"Sudah tidak jamannya perpustakaan hanya menyediakan buku yang bisa dipijam saja," katanya.
Perpustakaan sebagai ruang terbuka bagi masyarakat berkontribusi aktif mendukung pembangunan manusia dan menjadi bagian upaya mempercepat pengurangan kemiskinan yang disebabkan karena persoalan konektifitas dengan sumber daya pengetahuan.
Peran Pustakawan
Pustakawan sebagai elemen melekat dari entitas perpustakaan amat penting menentukan transfer pengetahuan untuk membentuk budaya literasi.
Tanpa kemampuan literasi yang memadai, masyarakat mudah terjerumus pada informasi yang palsu dan menyesatkan.