TRIBUNNEWS.COM - Amerika Serikat (AS) melalui Kantor Perwakilan Perdagangan atau Office of The Trade Representative (USTR), mencoret Indonesia dari daftar negara berkembang.
Artinya, Indonesia yang menurut AS kini berstatus negara maju, tidak lagi mendapatkan perlakuan istimewa dalam perdagangan.
Selama ini diketahui, negara-negara yang menyandang status negara berkembang mendapatkan keistimewaan bea masuk dan bantuan lainnya dalam aktivitas ekspor-impor.
Terkait dengan hal tersebut, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto angkat bicara.
Airlangga mengatakan, hal ini akan berdampak terhadap fasilitas-fasilitas negara berkembang.
"Dampaknya tentu fasilitas, Indonesia yang sebelumnya menjadi negara berkembang akan dikurangi, ya kita tidak khawatir itu," kata Airlangga sebagaimana dikutip dari Kontan.co.id.
Setali tiga uang, ekspor barang-barang Indonesia akan mengalami kenaikan tarif yang tinggi daripada negara berkembang lainnya.
Misalnya, pajak-pajak impor yang diatur AS atas barang Indonesia akan lebih tinggi, termasuk bea masuk.
"Tapi belum tentu, kami tidak khawatir," terangnya.
Kebijakan baru AS tersebut telah berlaku sejak 10 Februari 2020.
Baca: Coret Indonesia dari Daftar Negara Berkembang: Pertimbangan AS hingga Dampak Bagi Indonesia
Baca: Dubes Iran Ungkap Misi Terakhir Jenderal Qassem Soleimani Sebelum Dibunuh Militer Amerika
Indonesia dikeluarkan dari daftar Developing and Least Developed Countries, sehingga Spesial Differential Treatment (SDT) yang tersedia dalam WTO Agreement on Subsidies and Countraiviling Measure tidak lagi berlaku untuk Indonesia.
Akibatnya, de minimis thresholds untuk marjin subsidi agar suatu penyelidikan anti-subsidi dapat dihentikan menjadi kurang dari 1 persen dan bukan kurang dari 2 persen.
Tak hanya itu, kriteria negligible import volumes yang tersedia bagi negara berkembang tidak lagi berlaku bagi Indonesia.
Dampaknya memang kebijakan ini cenderung buat perdagangan Indonesia buntung.