TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Samosir mengapresiasi keputusan Mahkamah Agung (MA) yang menganulir kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
"Keputusan MA itu kami apresiasi dan tentu keputusan MA itu memberikan angin segar di tengah proses hukum yang selalu mengalahkan rakyat kecil," katanya.
"Kami (KPCDI) merasa kesulitan rakyat kecil, jeritan rakyat kecil kemarin didengar, karena kenaikan iuran itu memberikan beban berat kepada rakyat terkhusus pada masyarakat kelas menengah ke bawah sebagai pasien cuci darah," kata dia saat dihubungi Tribunnews.com, Selasa (10/3/2020).
Baca: Bupati Sukabumi Usul BPJS Kesehatan Dibubarkan, Ini Alasannya
Ia mengatakan, pasien cuci darah sering mengalami diskriminasi pada saat bekerja, di mana sering dihentikan dari pekerjaan dengan alasan kesehatan menurun.
"Tidak bisa bekerja tapi iuran BPJS kami jalan terus. Kami rasa kebijakan menaikan iuran memang harus ditinjau," ungkap dia.
KPCDI berharap, pemerintah segera menjalankan semua keputusan Mahkamah Agung itu.
"Segera dijalankan agar mengurangi beban masyarakat kecil dan menengah," harap dia.
Baca: Hampir 200 Tentara Korea Utara Tewas Diduga karena Virus Corona, Mayat-Mayat Tidak Dikremasi
Seperti diketahui MA mengabulkan uji materiel Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Keputusan itu sekaligus membatalkan kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
"Perkara Nomor 7 P/HUM/2020 perkara hak uji materiel. Diputus Kamis, 27 Februari 2020," ujar juru bicara MA Andi Samsan Nganro di Jakarta.
Dalam amar putusan itu, MA menerima dan mengabulkan sebagian permohonan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) selaku penggugat.
Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu Pasal 23A Pasal 28 H juncto Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Perpres Nomor 75 Tahun 2019 itu juga dinilai bertentangan dengan Pasal 2, Pasal 4 (huruf b, c, d, dan e), Pasal 17 ayat 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, Pasal 234 huruf (b, c, d, dan e) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, dan Pasal 4 juncto Pasal 5 ayat (2) juncto Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
"Menyatakan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2019 tentang perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Menyatakan permohonan pemohon ditolak untuk selebihnya," bunyi putusan tersebut.
Baca: Kasus Corona Membuat Kekayaan Orang Terkaya Asia Turun Rp 83,1 Triliun
Bunyi Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres Nomor 75 Tahun 2019 itu sebagai berikut:
(1) Iuran bagi Peserta PBPU dan Peserta BP sebesar:
a. Rp42.OOO per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III.
b. Rp110.000 per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II; atau
c. Rp160.000 per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas I.
(2) Besaran iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2O2O.
Besaran iuran yang diatur dalam Perpres Nomor 75 Tahun 2019 itu naik 100 persen dari sebelumnya. Iuran kelas III naik dari Rp25.500 menjadi Rp42 ribu per bulan per peserta. Kelas II dari Rp51 ribu menjadi Rp110 ribu, sedangkan kelas I naik dari Rp80 ribu menjadi Rp160 ribu.
Perpres Nomor 75 Tahun 2019 itu kemudian digugat melalui Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur. Kenaikan iuran dua kali lipat itu dinilai memberatkan masyarakat.