Sehingga berpotensi sebagian besar masyarakat tidak bisa menikmati layanan kesehatan yang merupakan hak setiap warga negara.
“Sebagai pesien gagal ginjal, sudah tidak produktif lagi seperti dulu, rentan terkena PHK, ditambah pengeluaran mereka tinggi untuk membeli obat-obat yang tidak dijamin oleh BPJS,” tuturnya.
Berdasarkan laporan yang diterima Tony terdapat sejumlah pasien gagal ginjal yang PBI-nya juga dicabut tanpa pemberitahuan oleh Kementerian Sosial dan Dinas Sosial akibat dari cleansing data.
Baca: Maruf Amin soal Putusan MA Batalkan Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan
“Pasien tidak bisa cuci darah. Mereka ini berpotensi gagal bayar iuran. Gagal bayar iuran membuat Kartu BPJS Kesehatannya tidak aktif," tegas Tony.
Sekjen KPCDI menjelaskan mayoritas anggota KPCDI merupakan peserta BPJS yang tidak masuk dalam penerima bantuan iuran (PBI) alias peserta mandiri.
Sehingga mereka sangat bergantung pada BPJS.
"Mereka terancam gagal bayar. Kalau gagal bayar berarti BPJS kami mati. Kalau kartu BPJS mati kami tidak bisa cuci darah."
"Bila tidak cuci darah berakibat nyawa melayang. Dua kali tidak cuci darah atau lebih sudah membuat celaka. Kalau tidak meninggal ya masuk ICU," ucap Petrus.
Setidaknya, biaya untuk satu kali melakukan pencucian darah rata-rata Rp 1,2 juta.
Sedangkan penyintas gagal ginjal diharuskan melakukan kegiatan tersebut dua kali dalam seminggu.
Petrus membeberkan, biaya besar tersebut dikarenakan banyak komponen yang tidak di-cover BPJS.
Biaya ini akan semakin besar ketika tempat pasien cucian darah berjauhan dengan fasilitas kesehatan yang ada.
"Di daerah lebih memprihatinkan lagi. Antara rumah dan tempat cuci darah sangat jauh. Biaya transportasi membebani, apalagi bagi pasien yang pakai kursi roda," tandasnya.
Baca: MA Putuskan Iuran BPJS Batal Naik, Iuran BPJS Kesehatan Ambon Belum Juga Turun
Pada dasarnya biaya pencucian darah tergantung dari tipe rumah sakit tempat pasien dirawat