News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Virus Corona

Jokowi Terbitkan Keppres No.12/2020, Pengamat Ricky Vinando: Corona Bukan Kondisi Force Majeure

Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Hendra Gunawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Tim medis melakukan penanganan darurat pasien yang diindikasi terjangkit Virus Corona di Ruang Isolasi Khusus Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) dr Kariadi saat simulasi penanganan wabah Virus Corona (nCoV) di Bandara Jenderal Ahmad Yani, Semarang, Jawa Tengah, Kamis (30/1/2020). Berbagai simulasi penanganan yang dilakukan oleh RSUP Kariadi bersama Dinas Kesehatan Pemprov Jateng dan sejumlah rumah sakit di Kota Semarang tersebut sebagai antisipasi kesiapsiagaan perangkat medis dalam penanganan wabah Virus Corona tersebut. Tribun Jateng/Hermawan Handaka

Ricky kemudian menjelaskan mengapa dia berpandangan Covid-19 bukanlah force majeure dengan logika hukum tentang rumah tetangga kebakaran.

Misalkan ada rumah dengan nomor 7, 8, 9 dan 10 berjejer. Ketika rumah nomor 8 kebakaran (kondisi force majeure), maka rumah 7, 9, 10 seharusnya sudah bisa menduga rumahnya dapat terdampak.

Jika tak melakukan mitigasi atau langkah apapun, otomatis rumah selain nomor 8 juga bisa habis dilahap si jago merah.

"Kalau rumah sebelah terbakar, kita diam aja ya bukan force majeure. Seperti itulah kondisi Indonesia. Maksud saya tak ada upaya sama sekali untuk memadamkan api, disitulah letak tidak ada keadaan memaksanya," jelasnya.

Di sisi lain, dia mengatakan bahwa keadaan memaksa atau force majeure dikenal dalam hukum perdata merupakan kondisi yang terjadi setelah dibuat perjanjian atau kontrak yang menghalangi salah satu pihak untuk memenuhi kewajibannya atau prestasinya.

Oleh karenanya, dalam keadaan force majeure, pihak yang tidak menjalankan kewajiban tidak bisa dinyatakan sebagai wanprestasi.

"Jadi semua kontrak atau perjanjian bisnis harus tetap jalan semuanya. Perbankan tidak perlu khawatir, debitur lakukan restrukturisasi hutang saja, karena Pasal 1320 KUH Perdata tetap mengikat para pihak dalam kontrak atau perjanjian. Tidak bisa dibatalkan karena Covid-19, Covid-19 bukan keadaan memaksa," kata dia.

Ricky juga mengatakan bahwa krisis moneter tahun 1997-1998 saja bukan dianggap orce majeure, padahal ekonomi seluruh dunia terutama Indonesia hancur lebur saat itu.

Ricky mengklaim sudah membaca Yurisprudensi Mahkamah Agung, yaitu Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 1787 K/PDT/2005 yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor. 237/Pdt.G/2003/PN.Jkt.Pst dimana berisi '...bahwa krisis moneter yang menimpa Indonesia sekalipun bukan keadaan
kahar (Force Majeure) sebagaimana ditentukan dalam undang-undang/-
hukum perdata'.

"Sehingga kalaupun terjadi pandemi corona seperti sekarang, bukan berarti langsung menimbulkan sengketa yang bermuara pada tuduhan wanprestasi. Kedua belah pihak dapat melakukan renegosiasi atau menjadwal ulang utang yang harus dibayar atau restrukturisasi utang lah," tandasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini