Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.
Hal tersebut tercantum dalam Undang-undang nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana.
Meski demikian, dalam praktiknya, hukuman yang diberikan terhadap pelaku korupsi belum memberikan efek jera.
Masih banyak koruptor yang dihukum ringan.
Baca: Survei Cyrus Network: Sebagian Pekerja dan Pencari Kerja Bisa Menerima Omnibus Law
Berdasarkan pemantauan yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang 2019, rata-rata hukuman yang dijatuhkan Pengadilan terhadap koruptor hanya 2 tahun 7 bulan pidana penjara.
Bahkan, terdapat 54 terdakwa korupsi yang divonis bebas dan lepas oleh Pengadilan, termasuk mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung yang menjadi terdakwa perkara korupsi SKL BLBI dan Sofyan Basir mantan Dirut PT PLN yang menjadi terdakwa terkait suap proyek PLTU Riau-1.
"Jika putusan Pengadilan masih menghukum ringan pelaku korupsi maka sudah barang tentu pemberian efek jera tidak pernah akan terealisasi dengan baik," ujar Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam konferensi pers melalui layanan konferensi video, Minggu (19/4/2020).
Baca: Respons KPK Sikapi Pernyataan Erick Thohir Soal Mafia Alat Kesehatan
ICW mengkategorikan hukuman 0 hingga empat tahun sebagai vonis ringan, lebih dari empat tahun hingga 10 tahun vonis sedang, dan hukuman lebih dari 10 tahun sebagai vonis berat.
Kurnia memaparkan, dari pemantauan yang dilakukan ICW, sepanjang 2019 terdapat 1.019 perkara korupsi yang disidangkan di Pengadilan seluruh tingkatan dengan 1.125 terdakwa.
Dari jumlah tersebut sebanyak 842 terdakwa korupsi divonis ringan oleh Pengadilan di berbagai tingkatan atau 82,2 persen dari seluruh terdakwa yang disidangkan.
Angka ini meningkat dibanding dengan tahun sebelumnya yang hanya sekitar 79 persen.
Hanya sekitar 173 terdakwa yang divonis sedang atau 16,9 persen dan sembilan terdakwa yang divonis berat atau hanya 0,8 persen dari seluruh terdakwa.
Bahkan, kata Kurnia, terdapat 41 terdakwa yang divonis bebas dan 13 terdakwa yang divonis lepas.
"Tren vonis pengadilan tindak pidana korupsi sepanjang tahun 2019 belum menunjukkan keberpihakan sepenuhnya pada sektor pemberantasan korupsi. Hal ini dikarenakan dalam temuan ICW rata-rata vonis terhadap terdakwa korupsi hanya 2 tahun 7 bulan penjara saja," katanya.
Baca: Respons Abdullah Hehamahua Sikapi Terpilihnya Brigjen Karyoto Sebagai Deputi Penindakan KPK
Rata-rata vonis yang dijatuhkan Pengadilan lebih rendah dari rata-rata tuntutan yang disampaikan Penuntut baik dari Kejaksaan maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Rata-rata tuntutan Kejaksaan 3 tahun 4 bulan penjara, sementara dari tuntutan Jaksa KPK selama 5 tahun 2 bulan.
Secara rinci, Kurnia memaparkan, tuntutan dari Kejaksaan, dari total 911 terdakwa sebanyak 604 dituntut ringan, 276 sedang, dan 13 berat.
Sementara KPK menuntut 197 terdakwa, dengan 51 terdakwa dituntut ringan, 72 sedang, dan 6 berat.
Sedangkan untuk putusan, kasus yang ditangani Kejaksaan rata-rata divonis 2 tahun 5 bulan penjara. Sementara perkara korupsi yang ditangani KPK rata-rata divonis 4 tahun 1 bulan penjara.
"Lalu untuk vonis ringan, ketika penuntutnya adalah KPK sebanyak 63 terdakwa dan Kejaksaan sendiri sejumlah 722 terdakwa. Vonis yang dikategorikan berat untuk KPK sendiri sebanyak 2 terdakwa dan Kejaksaan 5 terdakwa," katanya.
ICW meminta Ketua Mahkamah Agung (MA) Muhammad Syarifuddin menyoroti secara khusus tren vonis yang masih ringan terhadap pelaku korupsi.
Hal ini dapat dilakukan MA dengan menyusun dan merealisasikan pedoman pemidanaan.
"Agar ke depan setiap hakim memiliki standar tertentu saat memutus perkara korupsi," katanya.
Selain itu, ICW juga meminta MA selektif dalam menilai kelayakan bukti terkait Peninjauan Kembali (PK) yang saat ini marak dilakukan terpidana korupsi.
Sepanjang 2019, MA setidaknya telah mengurangi hukuman enam terpidana kasus korupsi mulai dari pengurangan hukuman penjara, ataupun penghapusan uang pengganti.
"Jangan sampai justru PK dijadikan kesempatan bagi terpidana korupsi untuk lolos dari jerat hukum tanpa didasarkan persyaratan yang jelas," katanya.
Tak hanya hukuman pidana yang ringan bagi koruptor, upaya memulihkan keuangan negara yang diakibatkan korupsi juga tak maksimal.
Sepanjang 2019, ICW menyebut praktik korupsi merugikan keuangan negara hingga lebih dari Rp12 triliun.
Namun, putusan hakim yang menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti hanya sekitar Rp748 miliar atau hanya 10 persen dari keuangan negara yang mampu dikembalikan melalui putusan di berbagai tingkat Pengadilan.
Kejaksaan dan KPK juga tidak maksimal menerapkan pasal pencucian uang kepada koruptor.
Sepanjang 2019, hanya delapan terdakwa yang dikenakan UU Pencucian Uang.
Padahal, penerapan UU Pencucian Uang kepada terdakwa terbukti dapat menghasilkan putusan yang beriorientasi pada pemiskinan pelaku korupsi.
Dengan kombinasi penidanaan penjara maksimal disertai pengembalian hasil kejahatan diyakini dapat memberikan efek jera yang efektif bagi koruptor.
Untuk itu, ICW mendorong penegak hukum, baik Kejaksaan atau KPK, agar memanfaatkan dengan baik pedoman penuntutan saat menangani terdakwa korupsi.
Apalagi, menurutnya, saat ini pedoman penuntutan masuk sebagai salah satu poin yang akan diperbarui melalui program Strategi Nasional Pencegahan Korupsi.
"Ini dilakukan agar di masa mendatang penuntutan yang dilakukan penegak hukum bisa benar-benar berorientasi pada penjeraan pelaku korupsi," katanya.
Selain itu, menurut Kurnia, penegak hukum, baik Kejaksaan atau KPK harus selalu menggunakan UU Tindak Pidana Pencucian Uang ketika mendakwa pelaku korupsi.
"Sebab, secara yuridis maupun realita kejahatan korupsi seringkali beririsan langsung dengan tindak pidana pencucian uang. Hal ini sekaligus akan memberikan efek jera maksimal terhadap pelaku korupsi," katanya.