“Lihat saja di youtube, di FB, di video, dan media-media sosial lain. Ada banyak pelatihan gratis. Misalnya, pelatihan beternak kambing, ayam, udang, ikan, dan lain-lain," ujar Saleh kepada wartawan, Jakarta, Senin (20/4/2020).
"Ada juga pelatihan bertanam palawija seperti cabai, bayam, jagung, wotel, mentimun, dan lain-lain. Bahkan banyak juga pelatihan dan panduan bisnis online yang dapat diikuti secara gratis," sambung Saleh.
Wakil Ketua Fraksi PAN di DPR menilai kalau materi pelatihan yang dimaksud sama seperti yang ada di media sosial, maka tidak perlu bekerja sama dengan lembaga-lembaga pelatihan lagi.
"Pelatihan lewat media sosial sudah sangat banyak. "Rata-rata, pelatihan tersebut dibuka dan diberikan secara gratis," papar Saleh.
Saleh mengatakan, pemerintah perlu menjelaskan langkah yang akan dilakukan oleh peserta pelatihan setelah selesai mengikuti program tersebut. Apakah sudah ada perusahaan yang siap menampung mereka bekerja, atau paling tidak magang?
Lalu, apakah ada skema pemberian modal kepada mereka jika nanti ada rencana untuk membuka usaha sendiri?
“Jangan sampai, sebelum ikut program mereka menganggur, setelah ikut juga menganggur. Itu artinya mereka menganggur dua kali, mereka hanya dapat insentif pelatihan saja. Kalau begitu modelnya, kartu prakerja ini persis sama dengan bantuan-bantuan sosial lainnya," tutur Saleh yang juga Wakil Ketua MKD di DPR.
Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sukamta, menilai program Kartu Prakerja layaknya program bagi-bagi uang ke perusahaan digital.
"Ada kesan kuat di masyarakat bahwa ini seperti bagi-bagi uang kepada vendor perusahaan digital, yang mana sebenarnya mereka juga sudah untung dengan peningkatan penggunaan aplikasi mereka sebagai dampak kebijakan semua serba dilakukan dari rumah (stay at home) melalui rasana daring," kata Sukamta kepada wartawan, Senin (20/4/2020)
Sukanta tak menampik, kartu prakerja adalah janji kampanye Presiden Jokowi yang harus direalisasikan. Namun anggaran Rp5,6 triliun tentu bukan angka yang sedikit.
"Harga bahan sampai Rp1 juta per orang. Kalau diakses 3,5 juta orang kan sudah 3,5 trilliun harga mendownload materi itu. Kalau modal materi dan pelaksanaannya, proyek ini paling besar bernilai beberapa ratus miliar saja, tidak sampai Rp5,6 triliun," ujarnya.
Anggota Banggar DPR RI itu memberi masukan, semestinya kalau mau niat membantu, pemerintah harus menghargai sesuai dengan harga yang wajar.
"Toh bahan- bahan itu sudah bisa ditemukan di internet secara gratis. Tidak ada yang istimewa sekali. Apalagi kalau sudah download tidak ada jaminan bisa diterima kerja atau membuat pekerjaan. Kemungkinan akan kembali menganggur," lanjutnya.(tribun network/yud/sen/dit/den/dod)