Hal tersebut mengarah pada peningkatan ketegangan dengan pemerintahan yang dipimpin Donald Trump dan rezim sanksi PBB yang diintensifkan.
Ketika permusuhan antara kedua belah pihak meningkat, Trump dan Kim terlibat dalam perang kata-kata yang semakin berapi-api.
Trump menyebut pemimpin Korea Utara itu "rocket man on a suicide mission", sementara Kim menyebut pemimpin AS itu "mentally deranged US dotard".
Namun setelah itu, Kim Jong Un berusaha memperbaiki hubungan dengan Presiden Trump.
Pada bulan April 2018, kedua pemimpin tersebut mengadakan pembicaraan tatap muka bersejarah di Singapura yang bertujuan untuk denuklirisasi Korea Utara.
Kim kemudian memutuskan untuk menangguhkan semua uji coba rudal dan akan menutup situs uji coba nuklir, karena negaranya telah mencapai "persenjataan nuklir".
Penghentian semua uji coba rudal dan nuklir tersebut disambut secara internasional, tetapi Pyongyang tidak berjanji untuk menyingkirkan senjata yang ada.
Kemudian pada tahun berikutnya, kedua pemimpin tersebut bersama dengan Moon Jae-in Korea Selatan, berpartisipasi dalam pertemuan dadakan di zona demiliterisasi (DMZ) yang memisahkan Korea Utara dan Korea Selatan.
Namun, hubungan antara AS dan Korea Utara kemudian memburuk, dan pembicaraan terhenti setelah pemerintahan Trump menolak untuk mencabut sanksi sampai Pyongyang sepenuhnya meninggalkan program nuklirnya.
Pada Januari 2020, Kim Jong Un mengatakan bahwa ia telah mengakhiri penangguhan uji coba rudal nuklir dan mengancam bahwa dunia akan menyaksikan senjata strategis baru.
(Tribunnews.com/Lanny Latifah)