TRIBUNNEWS.COM - Publik tengah dihebohkan dengan praktik eksploitasi anak buah kapal (ABK) asal Indonesia di kapal China, Long Xing.
Stasiun televisi Korea Selatan, MBC News, melaporkan keberadaan WNI dengan kondisi kerja yang memperihatinkan dan menyebutnya sebagai perbudakan.
Tak hanya itu, ada tiga orang di antara WNI tersebut yang meninggal dan jenazahnya dilarung di laut lepas.
Menanggapi hal itu, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti memberikan komentarnya.
Dalam cuitan di akun Twitter resminya, @susipudjiastuti menyinggung soal kasus Benjina yang terjadi pada 2015 lalu.
"Itulah kenapa ilegal unreported unregulated fishing harus dihentikan, ingat dulu kasus Benjina?" tulis Susi mengomentari kasus ABK WNI di kapal China Long Xing.
Lalu apa itu kasus Benjina?
Kasus Benjina adalah satu kasus perbudakan ABK di sebuah tempat terpencil bernama Benjina, Kabupaten Aru, Maluku.
Kasus perbudakan itu terungkap saat Susi Pudjiastuti menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan.
Mengutip dari Kompas.com, ABK dalam kasus Benjina ini berasal dari Thailand, Myanmar, Kamboja, dan Indonesia.
Kasus ini melibatkan PT Pusaka Benjina Resources (PBR), sebuah perusahaan PMA asal Thailand.
Baca: Kata Susi Pudjiastuti soal Jasad ABK Indonesia Dibuang ke Laut oleh Kapal China, Tenggelamkan!
PBR belakangan berhenti beroperasi menyusul moratorium izin kapal ikan buatan luar negeri serta keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan untuk mencabut izin usaha perikanan, surat izin penangkapan ikan, dan surat izin kapal pengangkutan ikan milik perusahaan.
Perusahaan yang sudah berdiri sejak tahun 2007 itu tersandung dugaan perdagangan manusia dan dugaan praktik penangkapan ikan ilegal.
Kasus ini terungkap setelah kantor berita Associated Press (AP) menyiarkan hasil investigasi selama satu tahun mengenai nasib ribuan nelayan yang dipaksa menangkap ikan oleh PBR.
Mengutip dari Kontan.co.id, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui tim satuan tugas (satgas) anti illegal fishing kemudian melakukan penyelidikan.
Dari hasil penyelidikan tersebut, tim menemukan indikasi kuat adanya kejahatan kemanusian di kapal itu.
Tim anti illegal fishing KKP juga menemukan sekitar 322 ABK yang sebagian berasal dari Myanmar, dalam kondisi memprihatinkan.
Selain itu, tim anti illegal fishing KKP juga menemukan ABK asing yang melanggar ketentuan.
Seperti masuk ke wilayah Indonesia tanpa izin resmi dan pemalsuan dokumen.
Masih dari Kontan.co.id, tim anti illegal fishing KKP juga menemukan 77 makam baru ABK di Benjina.
Baca: Sosok Jang Hansol, Orang Korea yang Viralkan Video Mayat ABK Dibuang ke Laut, Fasih Berbahasa Jawa
Menurut Ketua Satgas Anti Illegal Fishing, Achmad Santoso, makam tersebut tergolong baru, yakni sejak tahun 2009.
Dari batu makam tetulis semua warga yang meninggal adalah warga negara Thailand.
Sementara anggota tim satgas, Harimuddin menambahkan, berdasarkan laporan dari Polda Ambon, penyebab kematian ABK asing itu beragam.
Ada yang meninggal karena berkelahi, jatuh di laut dan sejumlah mayat yang ditemukan tanpa diketahui penyebab kematiannya.
Bentuk kekejaman perbudakan di Benjina
Masih dari Kontan.co.id, dari hasil penyelidikan, tim KKP menemukan adanya tindakan kekerasan dan tidak manusiawi yang dialami para ABK di Benjina.
Tim satgas anti illegal fishing menemukan apabila ABK non Thailand sakit, bukannya dilakukan pengobatan justru mendapatkan kekerasan fisik, seperti disetrum.
"Tidak ada alasan sakit dan apabila ada yang tertidur karena kelelahan dianggap malas dan diberikan hukuman fisik berupa pemukulan," ujar Dirjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP saat itu, Asep Burhanudin.
Kasus lain dari hasil wawancara di lapangan dengan ABK non Thailand, ada yang dijual oleh agen tenaga kerja di negara asal (diberi janji palsu).
Keterangan lain dari hasil wawancara, calon ABK ada yang dikondisikan dalam keadaan mabuk atau tidak sadar.
Namun, begitu sadar atau terbangun sudah berada di atas kapal.
Baca: Komentar Susi Pudjiastuti Soal Jenazah ABK Indonesia yang Dilarung ke Laut, Singgung Tragedi Benjina
Semua ABK non Thailand menggunakan dokumen palsu paspor Thailand.
Disamping itu, juga terjadi diskriminasi gaji atau penghasilan seperti ABK non Thailand dengan gaji Rp 1 juta per bulan.
ABK Indonesia, Rp 1,5 juta per bulan dan ABK Thailand, Rp 3 juta per bulan.
Lebih ironisnya lagi, mereka hanya membawa tas-tas plastik (kantong kresek).
Hanya terdapat satu orang yang membawa koper dalam kondisi jelek.
Tak berhenti di situ, para ABK juga banyak meninggalkan utang di warung-warung sekitar PBR.
(Tribunnews.com/Nanda Lusiana Saputri) (Kompas.com/Muhammad Idris) (Kontan.co.id/Asep Munazat Zatnika/Noverius Laoli)