TRIBUNNEWS.COM - Pakar hukum tata negara dari Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), Dr. Isharyanto, SH, M. Hum, menanggapi kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang baru saja diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Selasa (5/5/2020) lalu.
Mengingat kenaikan iuran BPJS ini sempat dibatalkan Mahkamah Agung (MA) pada akhir Februari 2020 lalu, Isharyanto menilai pemerintah seakan-akan menunjukkan ketidakpatuhannya terhadap putusan MA.
"Sulit menebak jalan pikiran pemerintah dalam kasus ini karena seakan-akan menampakkan ketidakputuhan kepada putusan MA sebelumnya," kata Dosen Fakultas Hukum UNS tersebut pada Tribunnews.com, Kamis (14/5/2020) siang.
Baca: Iuran BPJS Kesehatan Naik Lagi, KPCDI Minta Iuran Kelas 3 Tidak Dinaikkan
Lantas, apakah keputusan pemerintah ini masih tetap bisa berjalan meskipun sebelumnya telah dibatalkan MA?
Isharyanto menerangkan, terdapat istilah doktrin presumptio dalam hukum.
Dalam hal ini, keputusan pemerintah akan dianggap sah dan berlaku sepanjang belum dicabut atau dibatalkan oleh pengadilan.
Kendati demikian, Isharyanto menilai, kenaikan BPJS yang tertuang dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 ini berpotensi dipersoalkan kembali di MA.
Baca: Iuran BPJS Kesehatan Dinaikkan Lagi, Pengamat Ekonomi: Kualitas Layanan Juga Perlu Diperbaiki
Menurutnya, hal ini akan membuat siklus kebijakan menjadi kacau dan minim kepastian hukum.
"Ada potensi Perpres baru yang menaikkan iuran itu dipersoalkan di MA kembali."
"Maka siklus kebijakan akan kacau dan minim kepastian hukum," ungkapnya.
Pemerintah Kembali Naikkan Iuran BPJS
Dalam Perpres 64 Tahun 2020, terdapat kenaikan iuran bagi peserta mandiri segmen pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) yang diatur dalam Pasal 34.
Berikut rinciannya kenaikan iuran BPJS:
- Iuran peserta mandiri kelas I naik menjadi Rp 150.000, dari saat ini Rp 80.000.