Meski Rahmat Kadir tak pernah bertemu langsung dengan Novel, menurut Hamdi, terdakwa tak suka melihat gaya Novel Baswedan di televisi.
Dia menuding Novel sebagai sosok yang sok suci.
"Dia hanya dilihat di televisi. Petantang petenteng, itu bahasa dia. Sok suci, dia ngorbanin anak buahnya kok di kasus sarang burung walet. Kok dia tega dan malah institusi Polri dia bonyokin terus. Saya benci dan saya muak. Itu menjadi obsesif bagi dia," ujar Hamdi Muluk.
Baca: Ringankan Angsuran Petani dan Nelayan, Pemerintah Siapkan Anggaran Rp 34 Triliun
Selama obsesif, Hamdi menyebut terdakwa kerap mencari segala informasi tentang Novel Baswedan. Biasanya ia selalu mencari nama Novel setiap membuka YouTube.
"Terus saya tanya, kamu selama obsesi itu ngapain? Katanya, cari terus tentang berita tentang Novel. Dia nonton terus di YouTube tentang Novel," ungkapnya.
Dalam perspektif psikologi, motif yang kerap diungkapkan pelaku terkadang rumit dan sulit dimengerti.
"Motif itu unik. Hak prerogratif orang itu untuk membenci siapapun. Itu menjadi sesuatu obsesif. Bermula dari tidak suka, dendam dan menjadi benci, itu impuls,” katanya.
Mengapa memilih menyiramkan air keras dibandingkan membunuh? Menurut Hamdi Muluk, Rahmat Kadir mengaku hanya ingin memberikan pelajaran kepada Novel.
"Mengapa kamu tidak membunuh sekalian? Kata dia, oh bisa saja, saya itu satuan Brimob. Saya ingin melihat, tuh nyaho sih lu kalau kata anak sekarang. Ingin kasih pelajaran begitu," kata Hamdi.
Dalam perspektif kepribadian, sosok Rahmat memang berkepribadian agresif dan impulsif.
"Rahmat itu lebih impulsif, agresif, berani, sosialisasi dengan nilai kekerasan lebih besar. Pada titik tertentu, orang seperti Rahmat itu tidak antisipasi bahwa punya dampak panjang dan bisa merusak kesatuannya," ujar Hamdi. (tribunnetwork/igm)