TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Sesuai amanat konstitusi, sistem peradilan pidana (criminal justice system) di Indonesia merupakan bagian dari keamanan, bukan bagian dari pertahanan.
Karenanya, berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, leading sector dalam upaya penegakan hukum adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).
Bukan Tentara Nasional Indonesia (TNI).
”Itu sebabnya, TNI dalam menangani tindak pidana terorisme haruslah berada di bawah koordinasi (BKO) Polri dan merupakan tugas perbantuan TNI kepada Polri,” kata Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti dalam keterangan tertulis kepada awak media di Jakarta, Sabtu (30/5/2020).
Keterangan Poengky disampaikan menanggapi polemik seputar Rancangan Peraturan Presiden (R-Perpres) tentang Tugas Tentara Nasional Indonesia dalam Mengatasi Aksi Terorisme, yang diajukan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly awal Mei lalu.
Polemik mencuat, antara lain karena cakupan masalah yang diatur dalam R-Perpres tersebut dinilai terlalu luas.
Baca: Menghadapi Fase New Normal, PT KCI Siapkan Kebijakan Baru di Lingkungan Stasiun dan KRL
Poengky menjelaskan, fungsi penindakan dalam praktik sistem peradilan pidana merupakan fungsi aparat penegak hukum.
Sedangkan TNI bukan aparat penegak hukum, sehingga tidak dapat diberikan mandat untuk melakukan penindakan.
”Karena itu, Pasal 8 sampai dengan Pasal 14 dalam R-Perpres, yang menjelaskan kewenangan penindakan oleh TNI, berpotensi menimbulkan permasalahan pada sistem peradilan pidana di Indonesia,” ujarnya.
Baca: Kadin Catat Industri Tekstil Paling Banyak PHK Karyawan
Sudah begitu, lanjut Poengky, dalam R-Perpres tidak terdapat definisi tentang aksi terorisme yang dapat diatasi oleh TNI.
”Ketiadaan definisi tersebut akan membawa dampak tumpang tindih kerja institusi lain yang diberi kewenangan menangani tindak pidana terorisme, yakni Polri dan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme),” tuturnya.
Komisioner Kompolnas dari unsur tokoh masyarakat ini pun mengingatkan, tumpang tindih kewenangan di lapangan, khususnya menyangkut aparat bersenjata, jelas berpotensi membahayakan keamanan negara dan bangsa, serta melanggar hak asasi manusia (HAM).
Mengutip draf R-Perpres Pasal 3 hingga Pasal 6 tentang pelaksanaan penangkalan (aksi terorisme), menurut Poengky, selain berpotensi tumpang tindih dengan kewenangan institusi lain, juga multitafsir, sehingga membahayakan dalam penerapannya di lapangan karena rentan terjadi pelanggaran HAM.
Poengky Indarti menambahkan, mandat pencegahan tindak pidana terorisme telah diberikan kepada BNPT.