”Karena itu, dengan diberikannya kewenangan kepada TNI untuk melakukan pencegahan tindak pidana terorisme, sebagaimana dimaksud dalam R-Perpres Pasal 7, hal itu berpotensi merusak dan tumpang tindih dengan mandat yang diberikan kepada BNPT,” tegasnya.
Poengky tak memungkiri, aksi terorisme tetap memerlukan tindakan oleh TNI, namun dengan ketentuan khusus.
Misalnya, terkait pembajakan kapal di laut atau pembajakan pesawat udara.
”Definisi yang menjelaskan aksi terorisme seperti inilah yang dibutuhkan agar tidak terjadi tumpang tindih di lapangan,” tambahnya.
Khusus berkenaan dengan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana terorisme, Poengky menilai, Polri selama ini telah melaksanakan tugasnya secara profesional dan mandiri.
Densus 88 sebagai detasemen khusus antiteror Polri bahkan diakui sebagai salah satu detasemen antiteror terbaik di dunia.
Baca: PT Bintang Toedjoe Berikan Bantuan Donasi kepada RSD Wisma Atlet Kemayoran
”Itu sebabnya, terkait pemberian tugas kepada TNI dalam mengatasi aksi terorisme, yang lebih dibutuhkan adalah payung hukum berupa aturan tentang tugas perbantuan dari TNI kepada Polri.”
Dengan munculnya polemik di masyarakat, apalagi dalam situasi wabah Covid-19, Poengky Indarti berharap pembahasan R-Perpres tersebut dapat ditunda.
”Selebihnya, melihat perlunya melanjutkan reformasi sektor keamanan, maka akan lebih baik jika yang didahulukan adalah pembuatan undang-undang tugas perbantuan TNI kepada Polri, bukan perpres,” tegasnya.