Laporan Wartawan Tribunnews.com, Igman Ibrahim
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah mengesahkan Undang-undang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) atau UU Minerba di tengah pandemi Covid-19 disayangkan berbagai pihak.
Tak terkecuali Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM serta Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik, Busyro Muqoddas.
Busyro menyebut wakil rakyat dan pemerintah telah mencuri momentum rakyat yang sedang dalam kondisi kesulitan.
"Kita bisa mengimajinasikan bagaimana wakil rakyat yang dipilih rakyat setelah dipilih dengan gaji take home pay yang besar, sementara yang memilih rakyat sedang terkapar ekonomi, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan justru dicuri momentumnya," kata Busyro Muqoddas dalam sebuah diskusi bertajuk 'Sidang Rakyat', Senin (1/6/2020).
Baca: Menag Terbitkan Panduan di Rumah Ibadah Selama New Normal, WALUBI Pilih Sembahyang di Rumah
Baca: Penyerangan di Markas Polsek Daha Selatan Kalsel: Seorang Polisi Tewas, Kantor Dirusak
Dalam kondisi tersebut, Busyro Muqoddas mengatakan masyarakat tidak sempat menyoroti kebijakan UU Minerba yang dinilai banyak masalah.
Dia menuturkan, pemerintah dan DPR dianggap telah mencuri kedaulatan rakyat.
"Ketika rakyat sebagai konstituen itu sedang terkapar tidak mungkin berpikir tentang RUU Minerba, rakyat sedang sangat berkepentingan karena ada daulat di tangan rakyat. Tetapi justru dicuri oleh DPR bersama dengan pemerintah," katanya.
Masyarakat Indonesia Timur Tolak Implementasi Undang-Undang Minerba
Masyarakat kawasan Indonesia Timur dengan suara bulat menolak implementasi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba)
Produk hukum tersebut dinilai lebih banyak memberikan dampak buruk, tidak hanya bagi lingkungan hidup tetapi juga ruang produksi dan kehidupan sosial mereka.
Suara masyarakat Indonesia bagian timur ini mewakili mereka yang hidup di wilayah pertambangan dan area PLTU batu bara mulai dari Sulawesi, Maluku, Bali, Nusa Tenggara, hingga Papua.
Hal ini mereka ungkapkan pada 'Sidang Rakyat' hari kedua, Sabtu (30/5/2020), yang digagas oleh gerakan #BersihkanIndonesia dan berbagai jejaring masyarakat sipil lainnya.
Beberapa waktu belakangan, pemerintah gencar mempromosikan kawasan timur Indonesia kepada investor, baik asing maupun lokal untuk menanamkan modalnya di kawasan ini dengan harapan lapangan kerja baru tercipta dan kesejahteraan masyarakat di kawasan tersebut meningkat.
Baca: Banyak Merugikan Warga Kalimantan, Undang-Undang Minerba Minta Dibatalkan
Baca: Achmad Purnomo, Rival Gibran di Pencalonan Pilkada Solo Resmi Mengundurkan Diri
Namun, yang terjadi justru sebaliknya, dimana kepentingan masyarakat diabaikan dan kerusakan lingkungan terus terjadi.
Berdasarkan kesaksian masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) yang diwakili Pastor Alsis Goa, saat ini sejumlah lahan pertanian habis dicaplok untuk kepentingan investasi pertambangan.
Keseimbangan ekosistem tanah, hutan, dan air rusak akibat penanaman modal tersebut.
Padahal, NTT adalah wilayah agraris yang mayoritas penduduknya hidup melalui bercocok tanam.
"Ironis, masyarakat NTT adalah masyarakat agraris, butuh lahan pertanian, sekarang dicaplok untuk kepentingan investasi pertambangan. Warga didesak untuk setuju (memberikan izin pengembangan lahan), (mereka) diancam, diintimidasi oleh pihak-pihak tertentu termasuk pihak keamanan," ujar Pastor Alsis.
Di Sulawesi Tengah, pembangunan PLTU yang dikelola oleh PT Pusaka Jaya Palu Power (PJPP) membuat warga sekitar mengalami infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
Berdasarkan keterangan Arzad Hasan, warga Mpanau Kecamatan Palu Utara yang mengutip data Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) setempat, sekitar 60 persen penduduk di area PLTU terjangkit ISPA pada saat PJPP mengoperasikan PLTU unit 3 dan 4 pada 2015.