Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mengusut kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait penanganan perkara di Mahkamah Agung (MA) senilai Rp46 miliar.
Upaya pengusutan dilakukan dengan pemeriksaan saksi hari ini, Rabu (3/6/2020). Penyidik memeriksa Panitera Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara Pudji Astuti.
Pudji diperiksa untuk dua tersangka sekaligus, yakni mantan Sekretaris MA Nurhadi dan Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto.
Baca: KPK: Kasus Nurhadi Sangat Mungkin Dikembangkan ke TPPU
"Sebagai saksi untuk tersangka HSO, penyidik mengkonfirmasi keterangan saksi terkait dengan pendaftaran perkara di PN Jakarta Utara," ungkap Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya.
Baca: KPK Juga Bawa 3 Kendaraan dan Uang dari Penangkapan Nurhadi di Simprug
"Sementara sebagai saksi untuk tersangka NHD, saksi dikonfirmasi terkait adanya perkara yang juga diduga ikut diurus oleh tersangka NHD," dia menambahkan.
Dalam kasus suap dan gratifikasi terkait pengurusan perkara di MA ini, KPK menetapkan tiga orang tersangka pada 16 Desember 2019.
Ketiga tersangka itu yakni, eks Sekretaris MA Nurhadi dan menantunya Rezky Herbiyono serta Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto.
Nurhadi dan Rezky ditetapkan sebagai tersangka penerima suap, sedangkan Hiendra ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap.
Baca: ICW Kritik Ketua KPK Firli Bahuri Absen Dalam Konferensi Pers Penangkapan Nurhadi
Salah satu kasus yang melibatkan ketiganya adalah perkara perdata PT MIT melawan PT Kawasan Berikat Nusantara (Persero) pada 2010.
Pada awal 2015, Rezky menerima 9 lembar cek atas nama PT MIT dari Hiendra untuk mengurus perkara Peninjauan Kembali atas putusan Kasasi No: 2570 K/Pdt/2012 antara PT MIT dan PT KBN.
Putusan tersebut terkait proses hukum dan pelaksanaan eksekusi lahan PT MIT di lokasi milik PT KBN oleh PN Jakarta Utara agar dapat ditangguhkan.
Untuk membiayai pengurusan perkara tersebut, Rezky menjaminkan 8 lembar cek dari PT MIT dan 3 lembar cek miliknya untuk mendapatkan uang senilai Rp14 miliar.
Namun, kemudian PT MIT kalah sehingga tersangka Hiendra meminta kembali 9 lembar cek yang pernah diberikan tersebut.
Perkara lainnya adalah pengurusan perkara perdata sengketa saham di PT MIT.
Pada 2015 Hiendra digugat atas kepemilikan saham PT MIT.
Perkara perdata ini dimenangkan oleh Hiendra mulai dari tingkat pertama dan banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada Januari 2016.
Pada periode Juli 2015-Januari 2016 atau ketika perkara gugatan perdata antara Hiendra dan Azhar Umar sedang disidangkan di PN Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, diduga terdapat pemberian uang dari tersangka Hiendra kepada Nurhadi melalui Rezky sejumlah total Rp33,1 miliar.
Pemberian uang tersebut dilakukan dalam 45 kali transaksi.
Pemecahan transaksi tersebut diduga sengaja dilakukan agar tidak mencurigakan karena nilai transaksi yang begitu besar.
Baca: Novel Baswedan Tangkap Nurhadi, BW: Matanya Dirampok Penjahat, Integritasnya Tetap Memukau
Beberapa kali transaksi juga dilakukan melalui rekening staf Rezky.
Tujuan pemberian tersebut adalah untuk memenangkan Hiendra dalam perkara perdata terkait kepemilikan saham PT MIT.
Selain itu, ada pula perkara terkait penerimaan gratifikasi.
Melalui Rezky, Nurhadi diduga menerima sejumlah uang dengan total sekitar Rp12,9 miliar terkait dengan penanganan perkara sengketa tanah di tingkat kasasi dan peninjauan kembali di MA.
Berbagai transaksi dalam rentang Oktober 2014-Agustus 2016 tersebut tidak pernah dilaporkan oleh Nurhadi kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan gratifikasi.
Ketiga tersangka sempat dimasukkan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) alias buron per 13 Februari 2020 akibat tiga kali mangkir dari pemeriksaan KPK.
Namun, akhirnya KPK berhasil mencokok Nurhadi dan Rezky pada Senin, 1 Juni 2020 malam di daerah Jakarta Selatan. Hanya Hiendra yang masih berkeliaran.