Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Partai Gelombang Rakyat Indonesia atau Partai Gelora belum menentukan sikap terkait wacana kenaikan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold dari 4 menjadi 7 persen dalam revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Namun, secara pribadi Sekjen Partai Gelora Mahfudz Sidik menyampaikan jika menaikkan parliamentary threshold menjadi 7 persen akan melahirkan kecemasan di sejumlah partai politik.
Baca: Kemenhub Tingkatkan Intesitas Patroli Jelang Implementasi TSS Selat Sunda 1 Juli Nanti
Dan berpotensi melahirkan guncangan politik dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia.
Dalam pengalaman revisi UU Pemilu, kenaikan itu dari 1,5 persen, 2,5 persen, 3 persen, kemudian 4 persen, artinya kalau ada kenaikan kisaran hanya 0,5 sampai 1 persen.
"Tapi kalau sekarang kenaikan parliamentary threshold melompat sampai 7 atau 8 persen, akan menciptakan kejutan dan guncangan politik pemilu," kata Mahfudz melalui keterangan tertulis, Kamis (11/6/2020).
"Kami meminta DPR dan pemerintah melihat dua faktor dalam penetapan parliamentary threshold untuk Pemilu 2024 mendatang, yakni filosofi representasi keragaman masyarakat Indonesia dalam proses politik serta variabel penyederhanaan parpol," katanya.
Namun, lanjut Mahfudz, Partai Gelora melihat ada yang lebih penting untuk dibahas selain wacana kenaikan ambang batas parlemen.
Yaitu soal pelaksanaan pemilihan anggota legislatif (pileg) serta pemilihan presiden (pilpres) secara serentak.
Berkaca dari pengalaman penyelenggaraan Pemilu 2019 silam, menurut Mahfudz, model pelaksanaan pemilu secara serentak Pileg dan Pilpres, tersebut justru membuat ratusan panitia penyelenggara pemilu meninggal dunia, karena faktor kelelahan.
Karena itu, Partai Gelora mengusulkan agar revisi yang akan datang fokus pada pelaksanaan pilpres dan pileg.
"Itu harusnya prioritas revisi. Karena praktik yang lalu, pengalaman menunjukan kompleksnya penyelenggaraan sehingga ratusan petugas meninggal karen kelelahan. Kalau parliamentary threshold menurut saya tidak terlalu prioritas dan tidak terlalu penting," ujar mantan Ketua Komisi I DPR RI itu.
Terkait filosofi representasi keragaman masyarakat Indonesia dalam proses politik, kata Mahfudz, hal tersebut harus dilihat karena kondisi masyarakat Indonesia yang sangat majemuk.
Sebab menurut Mahfudz, kemajemukan itu mempengaruhi pilihan politik setiap masyarakat.
"Jadi, kemajemukan harus terepresentasi secara baik dalam sistem pemilu," ujarnya.
Sementara soal variabel penyederhanaan parpol, Mahfuz berpendapat, agar hal tersebut harus menjadi pertimbangan.
Dia mengatakan bahwa ide penyederhanaan parpol tak bisa mendorong Indonesia kembali ke era Orde Baru, di mana hanya terdapat tiga parpol.
"Jumlah maksimal 15 parpol seperti yang terjadi dalam 20 tahun terakhir merupakan yang terbaik untuk mewakili berbagai aliran politik yang ada di tengah masyarakat Indonesia. Kalau pun ada penyederhanaan, ya penyederhanaan itu maksimal 15 parpol dan itu sudah mewakili aliran politik di Indonesia," kata Mahfudz.
"Kalau didorong parliamentary threshold jadi 7 atau 8 persen, sangat mungkin hasilnya penyederhanaan bisa tinggal lima parpol," pungkas Mahfudz.
Baca: Hadapi New Normal, Gugus Tugas Nilai Sekolah Jarak Jauh Masih Jadi Opsi Terbaik
Diketahui, Komisi II DPR RI tengah menggodok tiga opsi terkait parliamentary threshold dalam pembahasan dalam revisi UU Pemilu.
Sebanyak tiga opsi itu adalah tetap di angka 4 persen, naik menjadi 7 persen, atau ambang batas yang berjenjang.