Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi, Ronald Worotikan, mengungkap fakta persidangan keterlibatan Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi dan asisten pribadinya, Miftahul Ulum dalam perkara pengajuan proposal bantuan dana hibah KONI Pusat kepada Kemenpora.
Menurut dia, fakta persidangan itu sangat memprihatinkan karena ternyata perbuatan permintaan dan/atau penerimaan sejumlah uang yang dilakukan Miftahul Ulum untuk kepentingan Imam Nahrawi.
"Ternyata sudah menjadi rahasia umum di Kemenpora, setiap pengajuan proposal bantuan dana hibah oleh KONI Pusat dan/atau setiap kegiatan program olahraga yang dilakukan oleh Kemenpora harus ada fee yang harus diberikan untuk kepentingan Terdakwa selaku Menpora melalui Miftahul Ulum, salah satunya dari kegiatan Wasping ASIAN GAMES dan Program Indonesia Emas (PRIMA)," kata Ronald, saat membacakan surat tuntutan, Jumat (12/6/2020).
Baca: Tuntut Imam Nahrawi 10 Tahun Penjara, Jaksa Nilai Terdakwa Hambat Prestasi Atlet Indonesia
Tindak pidana suap di perkara ini terjadi pada tahun 2018, pada saat KONI Pusat mengajukan proposal bantuan dana hibah kepada Terdakwa selaku Menpora agar dapat didisposisi, diproses, disetujui dan dicairkan sesuai dengan isi proposal yang diajukan KONI Pusat.
Yaitu Proposal Kegiatan Pengawasan dan Pendampingan Program Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional Pada Multi Event 18th ASIAN GAMES 2018 dan 3rd ASIAN PARA GAMES 2018 dan Proposal Pelaksanaan Tugas Pengawasan dan Pendampingan Seleksi Calon Atlet sejumlah Rp 30 Miliar dan Pelatih Atlet Berprestasi Tahun Kegiatan 2018 sejumlah Rp 17,9 Miliar.
Menpora yang dijabat Terdakwa Imam Nahrawi memiliki peran sangat penting dalam hal menentukan dapat atau tidaknya proposal yang diajukan KONI Pusat dapat diproses dan disetujui Deputi, PPK, dan Tim Verifikasi yang ditugaskan melalui disposisi oleh Terdakwa selaku Menpora.
Baca: BREAKING NEWS: Imam Nahrawi Dituntut 10 Tahun Penjara dan Bayar Uang Pengganti Rp 19 Miliar
Pemberian disposisi oleh Terdakwa selaku Menpora merupakan bentuk pelaksanaan kewenangan selaku Menteri Pemuda dan Olahraga yang melaksanakan tugas memimpin Kementerian Pemuda dan Olahraga yang bertanggungjawab kepada Presiden dan selaku Pengguna Anggaran (PA).
Jaksa menjelaskan, peran penting Menpora ini menjadi sebuah motif untuk melakukan tindakan yang tidak berintegritas dan tidak profesional terhadap proposal yang diajukan oleh KONI Pusat agar dapat segera diproses di Kemenpora dengan memberikan disposisi kepada Miftahul Ulum.
"Yang secara tupoksi dan aturan yang berlaku tidak memiliki kewenangan dan tidak ada kaitannya dengan Proposal yang diajukan oleh KONI Pusat," kata dia.
Atas disposisi itu, Miftahul Ulum dengan sepengetahuan Terdakwa melakukan pertemuan-pertemuan dengan pihak KONI Pusat yaitu Ending Fuad Hamidy, mantan Sekretaris KONI Pusat dan Jhony E Awuy, Bendahara KONI Pusat untuk membicarakan besaran fee yang akan diberikan kepada Menpora agar pengajuan proposal KONI Pusat dapat segera didisposisi, diproses dan disetujui untuk dicairkan.
Baca: Kejaksaan Agung Periksa Mantan Asisten Pribadi Imam Nahrawi di Gedung Merah Putih KPK
Kemudian, Miftahul Ulum juga melakukan intervensi terhadap Deputi yang ditugaskan Terdakwa selaku Menpora untuk segera menindaklanjuti dengan melakukan telaah dan verifikasi serta persetujuan untuk mencairkan dana proposal yang diajukan KONI Pusat yang kemudian ditindaklanjuti oleh Miftahul Ulum dengan melakukan penerimaan-penerimaan sejumlah uang untuk Terdakwa selaku Menpora.
Terkait dengan gratifikasi yang diterima terdakwa selaku Menpora melalui Miftahul Ulum terjadi antara tahun 2015 sampai dengan tahun 2018.
Miftahul Ulum atas sepengetahuan Imam Nahrawi melakukan pertemuan-pertemuan dengan jajaran struktural di Kemenpora dengan mengikutsertakan Asisten Pribadi Menpora dan Staf Khusus Menpora.
"Dengan tujuan agar setiap kebutuhan-kebutuhan operasional Terdakwa selaku Menpora dapat dipenuhi yang dimintakan melalui Miftahul Ulum selaku Asisten Pribadi Menpora dan/atau Staff Khusus Menpora," kata dia.
Dipersidangan Terdakwa dan Penasehat Hukum berusaha untuk melakukan pembelaan dengan memberikan bantahan atas alat bukti yang diajukan Penuntut Umum dipersidangan dengan tidak mengakui setiap penerimaan-penerimaan yang dilakukan Miftahul Ulum untuk Terdakwa selaku Menpora dengan memberikan alasan-alasan yang tidak masuk akal tanpa disertai dengan alat bukti dan bahkan menyatakan dipersidangan membantah semua keterangan saksi-saksi.
Untuk diketahui, Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi, dituntut pidana penjara selama 10 tahun serta pidana denda sejumlah Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.
Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan Imam Nahrawi terbukti melakukan tindak pidana korupsi berupa menerima suap untuk mempercepat proses persetujuan dan pencairan bantuan dana hibah yang diajukan oleh KONI pusat kepada Kemenpora pada tahun kegiatan 2018.
Upaya suap yang diterima sebesar Rp 11,5 Miliar. Selain itu, Imam Nahrawi juga menerima gratifikasi senilai 8,64 Miliar. Sehingga, Imam diwajibkan membayar uang pengganti kepada negara sebesar Rp 19 Miliar.
Mengingat posisi Imam sebagai politisi, maka Jaksa juga meminta kepada majelis hakim agar mencabut hak politik yang bersangkutan selama 5 tahun terhitung sejak terdakwa Imam Nahrawi selesai menjalani pidana pokoknya.
Imam Nahrawi dituntut sesuai dakwaan kesatu alternatif pertama Paaal 12 A juncto Pasal 18 UU Tipikor Jo Pasal 55 (1) ke-1 KUHP, juncto Pasal 64 (1) KUHP dan Dakwaan kedua Pasal 12 B (1) juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 (1) KUHP juncto Pasal 65 (1) KUHP.
Sebelumnya, di surat tuntutan terpisah, Miftahul Ulum, dituntut Miftahul Ulum, Asisten Pribadi Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi, dituntut pidana penjara selama 9 tahun dan denda Rp 300 juta subsider 6 bulan kurungan.