TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sebagai partai politik baru, Sekjen DPP Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Mahfuz Sidik memastikan partainya belum bersikap terkait wacana kenaikan ambang batas parlemen alias parliamentary threshold (PT) dari 4 menjadi 7 persen, dalam revisi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).
Baginya ada yang lebih urgent untuk dibahas, pelaksanaan pemilihan anggota legislatif (pileg) serta pemilihan presiden (pilpres) secara serentak.
"Berkaca dari pengalaman penyelenggaraan Pemilu 2019 silam, model pelaksanaan pemilu secara serentak Pileg dan Pilpres, membuat ratusan panitia penyelenggara pemilu meninggal dunia, karena faktor kelelahan. Karena itu, kami mengusulkan agar revisi yang akan datang fokus pada pelaksanaan pilpres dan pileg," usul Mahfuz, Kamis (11/6/2020).
Partai politik besar merespon terkait rencana revisi undang-undang tentang pemilu.
Wakil Ketua Fraksi NasDem DPR RI Willy Aditya menyatakan fraksinya masih mengkaji usulan penurunan presidential threshold.
Willy mengatakan fraksinya di DPR mengundang beberapa pakar, lembaga pengkajian dan akademisi untuk mendiskusikan ambang batas pencalonan presiden.
"Fraksi NasDem sedang dalam proses melakukan pengkajian secara intensif," ujar Willy.
Willy mengungkapkan dalam diskusi dan kajian itu, berkembang wacana penurunan presidential threshold menjadi 15 persen. Namun, hal itu masih dikaji mendalam dan belum menjadi keputusan resmi dari fraksi maupun Partai NasDem.
Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan (PKPI) Diaz Hendropriyono menilai ambang batas parlemen atau parliamentary threshold harus diturunkan dari saat ini, 4 persen.
Baca: Tidak Hanya IPDN dan STIN, Ini Daftar Lengkap Sekolah Kedinasan yang Buka Pendaftaran di Tahun 2020
"Harusnya diturunkan, ruang gerak demokrasi jangan terlalu dibatasi," kata Diaz.
Menurut Diaz, ambang batas parlemen yang dibatasi secara tinggi, akan membuat masyarakat menjadi malas berpatisipasi dalam demokrasi.
"Berapa belas juta suara hilang di Pemilu terakhir? Berapa banyak tenaga yang sudah dikerahkan untuk menghitung dan mengumpulkan suara tersebut?" papar Diaz.
Ketua Komisi II DPR Fraksi Golka Ahmad Doli Kurnia Tandjung menyebut partainya mendorong adanya kenaikan ambang batas parlemen dari saat ini 4 persen menjadi 7 persen.
Menurutnya, sejak reformasi 22 tahun lalu, telah terjadi lima kali Pemilu dan ambang batas parlemen terus mengalami kenaikan dariĀ 2,5 persen, 3 persen, dan 4 persen.
"Kenapa ada kenaikan? Kami ingin mendorong sistem pemerintahan yang selama ini menganut sistem presidensial, efektif dan selaras, kalau DPR-nya menganut sistem multi partai sederhana," ujar Doli.
"Kemarin kenapa sempat berpikir 7 persen, karena kami menginginkan undang-undang ini adalah yang fix dalam waktu yang cukup panjang, tidak berubah dalam waktu 5 tahun sekali, bahwa 15 tahun atau 20 tahun sekali kita akan uji," lanjutnya.
Baca: Adaptasi New Normal, Jumlah Penumpang Pesawat Rata-rata 7.000 Setiap Hari
Juru Bicara Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Pipin Sopian mengatakan PKS saat ini sedang melakukan evaluasi terhadap pemilu sistem proporsional terbuka yang sudah berlaku sejak Pemilu 2009, 2014, dan 2019.
Sistem proporsional tertutup pun terbuka menjadi opsi.
Meski demikian, Pipin menyebut keputusan PKS terkait sistem terbuka atau tertutup ini masih belum diambil.
"Kami saat ini sedang mengkaji sistem pemilu terbuka yang menyebabkan biaya tinggi bagi negara, partai, dan calon. Tidak bijak di saat defisit anggaran dalam menghadapi Covid-19, negara dan caleg menghabiskan uang untuk penyelenggaraan pemilu dan kampanye," ujar Pipin. (tribun network/mam/sen/dit)