News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kinerja Menteri Jokowi

Kritik Jokowi Marah-marah ke Menteri, Fadli Zon: Kasihan Sekali Letjen Doni Monardo

Penulis: Daryono
Editor: Garudea Prabawati
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Fadli Zon, Presiden Jokowi dan Ketua Gugus Tugas Doni Monardo

TRIBUNNEWS.COM - Anggota DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Fadli Zon memberi tanggapan terkait sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang marah-marah saat rapat kabinet.

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini memberikan tanggapannya melalui postingan di akun twitternya, @fadlizon, Selasa (30/6/2020). 

Dalam tanggapannya itu, Fadli Zon menyayangkan sikap Jokowi yang mengumbar video marah-marah itu ke publik. 

Menurut Fadli Zon, selain mempermalukan anak buahnya, tindakan Jokowi itu juga mempermalukan dirinya sendiri sebagai presiden. 

Baca: Anis Matta Beberkan Tiga Jebakan Negara Gagal yang Harus Dihindari Jokowi

Mantan Wakil Ketua DPR itu juga menyebut marah-marah Jokowi merupakan ekspresi rasa frustasi mengatasi Pandemi. 

Ia juga mengaku kasihan kepada Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Letjen Doni Monardo karena tidak mendapat back-up dari pejabat setingkat menteri dalam menangani Corona. 

Berikut tanggapan Fadli Zon sebagaimana dikutip dari akun twitternya: 

Terus terang sy prihatin menonton pidato kemarahan Presiden di hadapan para menteri dan beberapa pimpinan lembaga tinggi negara.

Kemarahan itu sebenarnya disampaikan pada pembukaan sidang kabinet paripurna di Istana Negara, 18 Juni 2020 lalu. Namun, rekamannya baru diunggah oleh Sekretariat Presiden pada 28 Juni 2020 kemarin.

Ada dua sumber keprihatinan sy. Pertama, sbg pemimpin, Presiden mestinya mengerti bahwa adab seorang pemimpin adalah bertanggung jawab atas kesalahan anak buahnya.

Dengan mengumbar pidato marah-marah tsb, Presiden bukan hanya telah mempermalukan anak buahnya, tapi juga sedang mempermalukan dirinya sendiri sebagai pemimpin.

Kalau dia menyebut menterinya tak becus bekerja, sementara Presiden sendiri tidak melakukan langkah apapun untuk menghentikan, atau memutus ketidakbecusan itu,

bahkan sesudah lebih dari seminggu rapat kabinet tadi berlangsung, secara tak langsung Presiden sedang menunjukkan ketidakcakapannya dalam memilih, mengelola, serta mengontrol kinerja para menterinya.

Apalagi, sejak awal Presiden sudah menegaskan tidak ada yg disebut visi/misi menteri, yg ada hanyalah visi/misi Presiden. Artinya, semua menteri seharusnya berada di bawah pengawasan dan kendalinya.

Kedua, masih terkait prinsip dasar kepemimpinan, mengkritik, menegur, atau memarahi anak buah di muka publik bukanlah sebuah tindakan yg patut.

Pemimpin memang boleh menegur, bahkan hingga sekeras-kerasnya pada anak buah, atau memarahi mereka sekasar-kasarnya, namun semua itu seharusnya dilakukan di ruang tertutup.

Sebaliknya, dalam urusan prestasi, jika anak buahnya cakap maka seorang pemimpin seharusnya memuji anak buahnya di ruang terbuka. Selain sebagai bentuk apresiasi, hal itu juga untuk mendongkrak wibawa kepemimpinannya.

Dengan kata lain, cara seorang pemimpin meninggikan dirinya sendiri adalah dengan meninggikan anak buahnya. Sebaliknya, jika seorang pemimpin merendahkan anak buahnya, maka sebenarnya dia sedang merendahkan diri sendiri.

Kenapa isu adab kepemimpinan ini perlu kita anggap penting, karena kunci utama menghadapi dan menangani krisis adalah kepemimpinan.

Seperti pernah saya singgung beberapa waktu lalu, saya setuju dengan pernyataan Jeffrey Sachs bahwa untuk menghadapi pandemi dan krisis yang mengikutinya, dibutuhkan sebuah kepemimpinan yang cakap,

yaitu para pemimpin yang bisa memobilisasi sumber daya nasional untuk merespon bencana dan krisis. Hanya pemimpin cakap yang akan bisa membawa sebuah negara keluar dari krisis dan pandemi.

Itulah yg menjelaskan kenapa Jerman dan Selandia Baru, misalnya, berhasil mengatasi pandemi, sementara Amerika Serikat nampak kalang kabut menghadapi Covid-19. Itu tak terlepas dari soal kepemimpinan.

Menurut sy kemarahan dalam rapat paripurna kabinet itu merupakan ekspresi rasa frustrasi Presiden dalam menghadapi situasi krisis saat ini. Tapi kemarahan itu tidak ada gunanya buat rakyat, kecuali hanya bagi pribadi Presiden.

Ketika Presiden mengeluhkan tak adanya langkah ‘extraordinary’ dalam mengatasi krisis, atau menganggap anggota kabinetnya tidak memiliki ‘sense of crises’,

maka persoalan itu bukan hanya ada pada satu-dua orang menteri saja, namun melekat pada seluruh pemerintahannya. Sebab, dengan ataupun tanpa Covid-19, sejak awal pemerintahan ini selalu menyangkal bakal datangnya krisis.

Bagaimana bisa memitigasi krisis, jika posisi Pemerintah selalu menyangkal potensi dan ancaman krisis? Mari kita lihat buktinya.

Pertama, Pemerintah lambat merespon krisis. Saat kasus pertama Covid-19 diakui Pemerintah untuk pertama kalinya pada awal Maret lalu, Presiden menolak menerapkan status darurat nasional.

Padahal, sejak 10 Maret 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyurati Presiden agar menetapkan status darurat nasional. Rekomendasi status darurat nasional itu bukan hal yg mengada-ada, sebab WHO sendiri sudah menetapkan status darurat global untuk menghadapi Covid-19.

Ketika Gubernur DKI Jakarta dan sejumlah kepala daerah lain mengutarakan inisiatif melakukan ‘lockdown’ wilayah untuk mencegah terjadinya penularan, pemerintah mementahkan usulan tersebut.

Padahal kebijakan “lockdown” dimungkinkan oleh UU No. 6/2018 tentang Karantina Kesehatan. Bukannya mendukung, pemerintah pusat malah mengganjal usulan-usulan tersebut.

Bayangkan, ekspose kasus pertama terjadi awal Maret, namun kebijakan pertama mengatasi pandemi sebagaimana yg dipandu UU Karantina Kesehatan, baru diambil Pemerintah pertengahan April 2020, berupa kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Ada jeda satu setengah bulan.

Jadi, kalau Presiden baru marah-marah soal ‘sense of crises’ di akhir bulan Juni, menurut saya justru Presiden yang tak peka dengan keadaan.

Kedua, organisasi kerja dalam mengatasi krisis ini tidak jelas. Ini adalah bencana nasional kesehatan, namun kita tak melihat di mana Menteri Kesehatan sejak pandemi ini ditetapkan sebagai bencana nasiona

Kita juga tidak melihat ada anggota kabinet yg diberi tanggung jawab jelas dalam organisasi kerja penanganan pandemi. Semua menteri memang dimasukkan dalam struktur Dewan Pengarah, namun struktur semacam itu kan hanya pajangan.

Jika Pemerintah menganggap pandemi ini serius, Presiden seharusnya menunjuk salah seorang menterinya sebagai penanggung jawab tim.

Apalagi, tim ini harus mengkoordinasikan Gubernur, Pangdam, Kapolda, Korem, Bupati/Walikota, Dandim, Danrem, atau Kapolres,

maka butuh seorang dengan jabatan setingkat menteri agar koordinasi bisa jalan. Kasihan sekali Letjen Doni Monardo berjibaku di lapangan, tanpa bekal back-up kekuasaan yang cukup di pundaknya.

Jokowi Marah

Presiden Joko Widodo (Jokowi) marah dan kecewa atas kinerja para menterinya.

Hal itu karena Jokowi menganggap kinerja para menterinya masih biasa-biasa saja dan tidak ada kemajuan signifikan di tengah situasi kiris akibat Pandemi Covid-19.

Kemarahan Jokowi disampaikan dalam Sidang Kabinet Paripurna pada 18 Juni 2020 yang videonya baru dipublikasikan pada 28 Juni 2020.

Dalam rekaman video tersebut, Jokowi terdengar berbicara dengan nada tinggi pada para menterinya.

Presiden menilai, sejumlah anggota kabinetnya belum memiliki perasaan yang sama dalam menghadapi situasi pandemi Corona (Covid-19) saat ini.

"Saya lihat, masih banyak kita ini yang seperti biasa-biasa saja."

"Saya jengkelnya di situ. Ini apa enggak punya perasaan? Suasana ini krisis!" ujar Jokowi dengan nada tinggi.

Jokowi pun mengancam bakal melakukan berbagai langkah luar biasa termasuk di antaranya reshuffle kabinet.

(Tribunnews.com/Daryono)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini