"Jadi bisa dikatakan bahwa rapor Polri sepanjang 2020 adalah 79 dari angka 100," kata Rustika.
Media Sosial
Rustika menambahkan, di media sosial rapor kinerja Polri sedikit berbeda. Menurut dia, sentimen negatifnya sebesar 23 persen.
Hal tersebut menunjukkan bahwa agenda media dan agenda media sosial sama, namun memiliki tingkat perhatian yang berbeda.
Sepanjang 1 Januari- 29 Juni 2020 terdapat sebanyak 1.766.022 percakapan dari 667.398 akun non-Polri di Twitter.
"Sengaja penghitungan ini dipisahkan untuk mengetahui respons masyarakat pada Polri secara keseluruhan, mengingat akun-akun Polri cukup aktif dalam mensosialisasikan kebijakan Polri, dari level nasional hingga level Polsek," kata dia.
Isu terbesar di Twitter adalah soal penanganan dan informasi terkait Covid-19.
"Di sini terlihat bagaimana Polri menjadi salah satu rujukan, solusi, sekaligus sasaran keingintahuan hingga kejengkelan atas berbagai isu terkait penanganan dan kebijakan pemerintah terkait Covid," papar Rustika.
Isu terbesar berikutnya di Twitter adalah isu kriminalitas, kemanusiaan, terorisme radikalisme, penangkapan aktivis, Papua, dan Novel Baswedan.
Menurutnya, beberapa isu terakhir inilah yang membuat framing negatif pada Polri sepanjang 2020.
Berdasarkan tangkapan sistem Intelijen Perception Analysis (IPA), kata Rustika, isu Polri direspons oleh netizen milenial sebanyak 83,4 persen.
Dari sisi gender, terdapat 58,2 peren netizen laki-laki, dan 41,8 persen netizen perempuan, dengan persebaran lokasi yang hampir menyeluruh.
"Emosi yang dimunculkan adalah Anticipation dan Trust," ujar dia.
Beberapa emosi disgust atau marah dari netizen beberapa kali bergolak di antaranya karena kasus pernikahan Kapolsek di sebuah hotel mewah yang sempat jadi trending topic, Ravio Patra, Novel Baswedan, dan isu Papua.
>