TRIBUNNEWS.COM - Staf Divisi Perubahan Hukum LBH APIK Jakarta, Dian Novita membeberkan sulitnya mendampingi korban kekerasan seksual tanpa payung hukum.
Menurut Dinov, sapannya, kasus kekerasan yang menimpa perempuan dewasa, akan berakhir suka sama suka.
Biasanya, korban justru didorong bersalah lantaran stigma negatif yang masih bersarang di Indonesia.
Seperti anggapan mengapa perempuan mau melakukan itu, tidak pantas keluar malam dan memakai pakaian minim.
"Kasus kekerasan seksual bukan dianggap melanggar kemanusiaan."
"Jadi seperti dianggap melanggar norma dan budaya saja," ungkap Dinov kepada Tribunnews, melalui Zoom Meeting, Kamis (2/7/2020) malam.
Baca: RUU PKS Dianggap Mengadopsi Ideologi Barat, LBH APIK: Justru Kita Lihat Situasi Korban di Indonesia
Lebih parahnya lagi, bila kasus kekerasan seksual terjadi di daerah-daerah.
Maka penyelesaikan kasus biasanya berakhir membayar denda atau korban dinikahkan dengan pelaku.
"Jadi belum ada payung hukum yang membicarakan bagaimana dengan korbannya."
"Pelaku bisa dihukum dipenjara, tetapi yang memastikan korban pulih dan kembali beraktivas itu tidak ada," terang Dinov.
Dalam setahun terakhir ini misalnya, LBH APIK mendampingi 140an korban kekerasan seksual pada perempuan dan anak.
Namun, yang bisa masuk ke jalur hukum hanya sekitar 11 kasus saja.
Baca: LBH APIK Jakarta Beberkan Sederet Alasan Mengapa RUU PKS Harus Benar-benar Disahkan
Dinov menuturkan, kasus tersebut tidak dibawa ke jalur hukum lantaran sulitnya mendapat bukti dan saksi.
"Padahal kalau memang ada saksi, kejadian kekerasan seksual tidak akan terjadi," tuturnya.