Laporan wartawan tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tanjung mengatakan setidaknya ada empat poin yang mendistorsi pelaksanaan Pilkada serentak.
Hal pertama yang perlu jadi koreksi yakni pelaksanaan pilkada serentak 2020 atau langsung membutuhkan biaya sangat tinggi.
Tapi biaya yang banyak itu belum bisa memastikan apakah agenda politik tersebut menghasilkan seorang kepala daerah yang mumpuni dan punya legitimasi sosial.
Ketidakpastian itu bisa terjadi karena adanya distorsi dari praktik negatif pemilu.
"Intinya pilkada langsung adalah high cost, biaya sangat tinggi. Problemnya, apakah satu agenda politik yang menimbulkan biaya tinggi itu punya korelasi positif dengan terpilihnya seorang kepala daerah yang mumpuni cakap?," kata Doli dalam diskusi virtual, Sabtu (4/7/2020).
Baca: PPP Umumkan 8 Pasang Calon Kepala Daerah di Pilkada Serentak 2020
Baca: Diduga Tidak Netral Dalam Kampanye Pilkada Muratara, Belasan Orang ASN Diperiksa Bawaslu
Baca: Komisi II DPR Sepakat RUU Pilkada Serentak Dibawa Ke Rapat Paripurna
Poin kedua, biaya yang tinggi di pilkada serentak 2020 juga tidak bisa memastikan apakah menjamin selaras dengan peningkatan pelayanan publik.
Poin ketiga, yakni distorsi yang katanya juga dikhawatirkan oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. Yaitu terjadinya pemecahan sosial di masyarakat.
"Ketiga, termasuk yang dikhawatirkan pak Tito. Ada di beberapa daerah terjadi pemecahan sosial di masyarakat," ungkapnya.
Sedangkan poin terakhir yakni biaya pilkada yang tinggi punya dua opsi, antara menjadikan masyarakat rasional atau justru membiasakan diri dengan praktik seperti politik uang maupun politik transaksional lainnya.
"Politik uang jadi sesuatu yang biasa, transaksional dianggap nggak masalah. Ini distorsi menurut saya secara langsung," pungkas Doli.