Berbeda dengan jenis pemeriksaan atau audit BPK lainnya, kata Agung, PKN dilakukan dengan syarat, penegakan hukum telah masuk pada tahap penyidikan.
Dalam tahap tersebut, tersangka ditetapkan oleh aparat penegak hukum, mempertimbangkan bukti-bukti atas terjadinya suatu tindak pidana. Setelah tersangka ditetapkan, aparat penegak hukum mengajukan kepada BPK untuk dilakukan PKN.
Tahap selanjutnya adalah ekspose atau gelar perkara. Tahap tersebut disajikan informasi oleh penyidik mengenai konstruksi perbuatan melawan hukum yang mengandung niat jahat (mens rea).
Ekspose tersebut disampaikan oleh aparat penegak hukum dengan menyajikan bukti-bukti permulaan yang cukup.
Dari ekspose terhadap kasus Jiwasraya oleh Kejaksaan, BPK berkesimpulan konstruksi perbuatan melawan hukumnya jelas dan telah didukung bukti permulaan yang memadai, dan oleh karena itu PKN-nya dapat dilakukan.
PKN secara substansi maupun prosedur merupakan bagian dari pemeriksaan pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara dan menjadi wewenang BPK.
Dengan demikian PKN dilakukan dengan menerapkan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) secara ekstra ketat.
"Lucu jika dikatakan bahwa BPK atau Ketua dan Wakil Ketua BPK melindungi pihak tertentu. Karena BPK menghitung PKN setelah konstruksi perbuatan melawan hukumnya dan tersangka ditetapkan oleh Kejaksaan," imbuh Agung.