News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Sejarawan Minta Narasi di Buku Sejarah soal Peristiwa 27 Juli 1996 Agar Diluruskan

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Foto dokumentasi/Poster besar peringatan peristiwa 27 Juli dipasang di depan bekas kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia, Jakarta, Kamis (26/7/2012). Perebutan paksa kantor DPP PDI 16 tahun silam diperingati tahun ini dengan peluncuran buku Tjiptaning 'Menyusuri Jalan Perubahan' disertai renungan dan pemutaran film. KOMPAS/LUCKY PRANSISKA

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejarawan Asvi Warman Adam menyatakan narasi sejarah mengenai penyerangan kantor Partai Demokrasi Indonesia (PDIP) yang dikenal sebagai peristiwa kerusuhan 27 Juli 1996 (Kudatuli) masih berbau narasi kekuasaan versi penguasa Orde Baru (Orba) Soeharto.

Sebab sejak awal, media massa sudah semacam dipaksa melayani narasi kekuasaan tersebut.

Asvi mengatakan dirinya sangat khawatir dengan narasi sejarah di buku pelajaran resmi yang menjadi pegangan bagi para guru dalam mengajar murid-murid di sekolah.

"Menjadi soal adalah bagaimana peristiwa 27 Juli ditulis dalam sejarah Indonesia. Sejarah mutakhir 2008, masih menyudutkan PDI atau PDIP. Karena yang dituding melakukan kekerasan adalah pendukung Megawati. Misalnya tulisan di dalam buku yang jadi rujukan guru mengajarkan sejarah," kata Asvi Warman Adam.

Baca: Ribka Tjiptaning: Tuntaskan Kasus 27 Juli 1996

Hal itu terungkap dalam penjelasan Asvi Warman Adam saat berbicara dalam diskusi virtual Forum Jas Merah bertema "Huru-Hara di Penghujung ORBA: Refleksi Peristiwa 27 Juli 1996", di Jakarta, Senin (27/7/2020).

Dia lalu mengutip sejumlah kalimat di buku sejarah yang resmi. Disitu disebutkan bahwa pada 27 Juli 1996, pendukung Megawati terkonsentrasi di Megaria dan mencoba menembus blokade aparat.

Kalimat berikutnya, massa membakar sejumlah bangunan seperti Gedung Bank Kesawan dan showroom mobil. Lalu aksi pendukung Megawati yang masih bergerak.

"Saya garis bawahi ada kalimat 'massa membakar apartemen' dan tak disebutkan pelakunya. Hanya massa. Namun kalimat itu di antara kalimat yang menyangkut pendukung Megawati. Orang awam akan membaca bahwa yang membakar itu adalah pendukung Megawati. Jadi menurut saya ini harus diluruskan di dalam buku yang jadi pedoman guru mengajarkan sejarah," urainya.

Dia mengingatkan bahwa sejak 2 Oktober 1965, rezim Orba sudah melakukan kontrol ketat terhadap media massa sebagai medium penyebar pesan atau narasi sejarah versi penguasa Orde Baru.

Dia mengingat bahwa di sekitar kejadian 27 Juli 1996, Kassospol ABRI saat itu Syarwan Hamid mengumpulkan media massa.

"Tanggal 28, media massa dikumpulkan oleh Syarwan Hamid. Pimred-pimrednya dikumpulkan untuk menyampaikan narasi penguasa saat itu," kata Asvi.

Lebih jauh, Asvi merefleksikan juga bahwa berbagai peristiwa pelanggaran HAM di Orba masih bersifat impunitas.

Artinya masih tak ada yang diselesaikan secara tuntas. Banyak pelanggaran HAM berat 1965 sampai 1998 masih terkatung-katung.

"Meskipun kita sedang hadapi wadah corona, seyogyanya sehabis masalah itu, kita berupaya juga mencoba menyelesaikan masalah HAM masa lalu sehingga bangsa ini tak menanggung terus beban ini sepanjang masa," ujarnya.

Melibatkan tokoh

Asvi Warman Adam mengatakan kejadian itu melibatkan rangkaian kegiatan yang melibatkan rezim Orde Baru Soeharto, Mantan Menlu AS Warren Christopher, hingga sejumlah pejabat militer saat itu.

Moderator Bonnie Triyana menjelaskan, narasi yang mayoritas disampaikan ke masyarakat adalah bahwa peristiwa 27 Juli 1996 adalah aksi kekerasan massa Pro-Soerjadi yang ingin merebut kantor DPP PDI yang dipimpin Megawati Soekarnoputri.

Dimana Soerjadi 'disponsori' rezim Orde Baru (Orba) karena saat itu Megawati terpilih sebagai ketua umum partai. Jadi insiden itu adalah insiden perebutan kantor DPP PDI.

Asvi Warman Adam lalu menjelaskan bahwa sebenarnya sejak 2 Oktober 1965, Orba sebenarnya sudah melakukan represi.

Misalnya pembredelan semua koran terkecuali koran terkait militer.

Tindakan represif itu berlanjut terus sepanjang 30 tahun. Contoh di tahun 1980-an, ada 3 pemuda menjual buku karangan Pramoedya Ananta Toer dihukum lebih dari 5 tahun hanya karena menjual buku yang dinyatakan dilarang oleh Orba. 

Nah dalam kasus PDI, terjadi kenaikan suara partai itu sejak 1987 hingga 1992, yang antara lain disebabkan masuknya putra putri Bung Karno ke partai. Yakni Megawati dan Guruh Soekarnoputra sejak 1987.

"Ini jelas mengkhawatirkan rezim berkuasa," imbuhnya.

Selain itu, ternyata ada aspek internasional melingkupi peristiwa itu. Sebab pada 23-25 Juli 1996, Menlu AS Warren Christopher datang ke Indonesia untuk hadir di pertemuan menteri-menteri luar negeri.

Dan di kesempatan itu, Christopher sempat bertemu dengan Komnas HAM dan Menlu Rusia Primakov.

Menurut penuturan Alm. Taufiq Kiemas, kata Asvi, sebenarnya pada 28 Juli 1996, Menlu Christopher akan bertemu dengan Megawati.

"Jadi sehari sebelum pertemuan itu terjadi peristiwa 27 Juli 1996. Jadi rezim Orba tak ingin terjadi pertemuan antara Megawati dengan Menlu AS yang memberi perhatian dengan masalah HAM ke Indonesia dan beberapa negara lain di dunia. Ini aspek penting juga, bahwa peristiwa itu terjadi sehari sebelum terjadi pertemuan antara Megawati dan Warren Christopher," bebernya.

Nah jika bertanya soal dalang peristiwa itu, Asvi mengisahkan tulisan wartawan senior Rosihan Anwar yang rumahnya tidak jauh dari kantor PDI.

Di hari kejadian, kebetulan Rosihan berolahraga dan mendekat dengan Kapuspen ABRI saat itu, Amir Syarifuddin. Dia mengaku mendengar langsung bagaimana Amir bicara dengan Sutiyoso lewat walkie talkie,

“Yos, masuklah ke dalam. Ini hari sudah siang. Kita terlambat nanti.” Intinya, Rosihan mengungkap bahwa semua kejadian ini permainan Soeharto dengan ABRI-nya.

Selain itu, ada juga tulisan yang mengungkap adanya pertemuan pada 24 Juli 1996 di Markas Kodam Jaya dimana Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mempunyai peran. Salah satunya adalah buku oleh Peter Kasenda.

"Ada pertemuan 24 Juli 1996 di Markas Kodam Jaya, dipimpin SBY dan disitu dibicarakan juga rencana mengambil alih kantor PDI ini. Jadi ada beberapa kemungkinan dalang atau aktor intelektual kejadian itu ditulis di media massa, tapi tak sampai ke pengadilan," urai Asvi.

Satu yang jelas, Asvi mengatakan bahwa peristiwa 27 Juli 1996 adalah awal perlawanan rakyat yang sistematis terhadap rezim Orba. Karena rakyat merasakan benar tekanan keras kepada masyarakat dan parpol.

"Kejadian ini juga sekaligus awal kejatuhan Orba di 1998," imbuh Asvi.

Sumber: Tribunnews.com/Kompas.com

Sebagian arrtikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Peneliti Sejarah Kritik Narasi soal Kudatuli dalam Buku Pelajaran"

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini