Menurut Wakil Ketua KPK periode 2015-2019, Basaria Panjaitan, hal ini bermula saat Syafrudin selaku Kepala Badan Penyehatan Perbankan Indonesia (BPPN) mengusulkan untuk disetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) pada 2002.
Lantas setelahnya terjadi perubahan proses litigasi terhadap kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh obligor sebesar Rp 4,8 triliun.
Hal tersebut berdampak pada restrukturisasi aset Sjamsul Nursalim sebesar Rp 1,1 triliun.
Sedangkan, Rp 3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses itu.
"Sehingga, seharusnya masih ada kewajiban obligor setidaknya Rp 3,7 triliun yang masih belum ditagihkan," terang Basaria, dilansir Kompas.com.
Meski terjadi kekurangan tagihan, Syafrudin pada April 2004 mengeluarkan Surat Keterangan Lunas (SKL) untuk Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) atas semua kewajibannya terhadap BPPN.
Dikutip dari Kompas.com, SKL tersebut mengacu pada Inpres Nomor 8 Tahun 2002 yang dikeluarkan pada 30 Desember 2002 oleh Megawati Soekarnoputri, yang ketika itu menjabat Presiden RI.
Baca: Kompolnas Optimistis Polri Bongkar Aliran Dana Hingga Oknum yang Ikut Lindungi Djoko Tjandra
Baca: Polri Masih Atur Jadwal Pemeriksaan Perdana Djoko Tjandra
Berdasarkan audit yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kerugian negara akibat kasus ini mencapai Rp 4,58 triliun.
(Tribunnews.com/Pravitri Retno W/Igman Ibrahim, Kompas.com/Ardito Ramadhan/Christoforus Ristianto/Abba Gabrillin/Ahmad Naufal Dzulfaroh)