TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Peraturan MA (Perma) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Peberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam Perma itu diatur koruptor dapat dipidana seumur hidup bila merugikan negara di atas Rp100 miliar.
Terkait itu, anggota Komisi III DPR RI Fraksi PPP Arsul Sani mengatakan maksud dan tujuan diterbitkannya Perma tersebut bagus.
Yakni untuk meminimalisir disparitas atau kesenjangan dalam penjatuhan vonis kasus tipikor antara satu hakim dengan hakim lainnya.
Baca: Legislator Golkar: Ada Aturan MA, Tak Ada Lagi Istilah Koruptor yang Jadi Anak Emas
Namun, Arsul menilai ada beberapa hal yang harus dilihat dan dipertimbangkan.
Salah satunya terkait materi muatan peraturan tersebut lebih tepat dimuat dalam Undang-Undang (UU).
"Sebagai Komisi Hukum DPR kami melihat bahwa materi muatan yang seperti itu mestinya cukup menjadi semacam 'petunjuk teknis' peradilan sebagaimana yang juga sering dibuat oleh MA. Bukan dituangkan dalam sebuah Perma," ujar Arsul, ketika dihubungi Tribunnews.com, Senin (3/8/2020).
"Sebab ketika dituangkan sebagai materi muatan peraturan perundangan berupa Perma tersebut, maka tidak tepat. Karena sebagian materinya seharusnya dimuat dalam Undang-Undang seperti KUHP atau Undang-Undang Tipikor," imbuhnya.
Arsul mengatakan Perma tersebut juga dapat ditafsirkan bahwa MA sebagai pemegang kekuasaan yudikatif telah mengambil kekuasaan pembentuk UU. Dalam hal ini yaitu DPR dan pemerintah.
Wajar, kata dia, apabila nanti terbitnya Perma tersebut ada yang berpendapat MA telah bertindak melebihi kewenangannya.
Meski pendapat seperti ini, menurut Arsul, dapat dicap sebagai sikap tidak pro terhadap pemberantasan korupsi.
Sekretaris Jenderal PPP tersebut juga mengatakan sejumlah pihak dapat menafsirkan MA membatasi independensi atau kemandirian para hakim dengan terbitnya Perma itu.
"Karena yang diatur oleh Perma tersebut masuk kedalam ranah hukum pidana materiel, maka juga bisa ditafsirkan bahwa MA telah membatasi independensi atau kemandirian para hakim. Padahal selama ini soal kemandirian hakim itu hal yang didengung-dengungkan oleh MA," jelasnya.
Oleh karenanya, Arsul menegaskan Komisi III DPR RI akan membahas kembali apakah pihaknya setuju mengenai Perma tersebut atau tidak dalam waktu dekat.
"DPR dalam hal ini melalui Komisi III tentu pada saat membahas kembali RKUHP akan menyikapi sebagai politik hukum pembentuk UU, apakah akan setuju dengan isi Perma tersebut atau akan menggantinya melalui ketentuan baru dalam KUHP atau revisi UU Tipikor," pungkasnya.
Sebelumnya diberitakan, korupsi merupakan kasus yang masih terus terjadi di Indonesia. Hingga kini masih banyak bermunculan kasus korupsi yang terendus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Terkait kejahatan ini, Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Peberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Adapun, pasal 2 dan pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah terkait terdakwa korupsi yang merugikan keuangan negara.
Beleid ini diteken oleh Ketua MA Syarifuddin dan diundangkan pada 24 Juli 2020 lalu.
Adapun, pada intinya beleid ini memungkinkan pelaku tindak pidana korupsi atau koruptor dipidana seumur hidup bila merugikan negara di atas Rp 100 miliar.
MA dalam pertimbangannya merilis Perma i1/2020 adalah untuk k menghindari disparitas hukuman pada kasus yang serupa.
"Untuk menghindari disparitas perkara yang memiliki karakter serupa, diperlukan pedoman pemidanaan," ungkap pertimbangan poin b dalam Perma tersebut seperti dikutip KONTAN, Minggu (2/8).
Perma 1/2020 ini sendiri membagi hukuman menjadi lima kategori, yakni;
Kategori paling berat, yaitu kerugian negara lebih dari Rp 100 miliar. Kategori berat, yaitu kerugian negara Rp 25 miliar-Rp 100 miliar.
Kategori sedang, yaitu kerugian negara Rp 1 miliar-Rp 25 miliar. Kategori ringan, yaitu kerugian negara Rp 200 juta-Rp 1 miliar.
Kategori paling ringan, yakni kerugian negara kurang dari Rp 200 juta.
Selain faktor uang negara yang dicuri, hukuman yang dijatuhkan mempertimbangkan kesalahan, dampak, dan keuntungan bagi si koruptor. Ada tiga jenis kesalahan, yaitu:
1. Kesalahan tinggi, dampak tinggi dan keuntungan terdakwa tinggi
2. Kesalahan sedang, dampak sedang dan keuntungan terdakwa sedang
3. Kesalahan rendah, dampak rendah dan keuntungan terdakwa rendah
Berikut ini simulasi hukuman paling berat sesuai Perma 1/2020:
Penjara seumur hidup atau penjara 16-20 tahun: terdakwa korupsi Rp 100 miliar lebih, kesalahan tinggi, dampak tinggi dan keuntungan terdakwa tinggi.
Penjara 13-16 tahun penjara: terdakwa korupsi Rp 100 miliar lebih, kesalahan sedang dampak sedang dan keuntungan terdakwa sedang. Penjara 10-13 tahun penjara: terdakwa korupsi Rp 100 miliar lebih, kesalahan ringan, dampak ringan dan keuntungan terdakwa ringan.