Bagi Fadli, POP adalah program unggulan Kemendikbud. Program ini bertujuan memberikan pelatihan dan pendampingan bagi para guru penggerak untuk meningkatkan kualitas dan kemampuan peserta didik.
Baca: Kemendikbud akan Evaluasi Lanjutan Program Organisasi Penggerak
Dalam program ini, Kemendikbud melibatkan organisasi-organisasi masyarakat maupun individu yang mempunyai kapasitas meningkatkan kualitas para guru melalui berbagai pelatihan.
"Di atas kertas, konsepnya kelihatan bagus. Namun, konsep yang bagus saja terbukti tidaklah cukup. Ada banyak aspek lain yang harus dipertimbangkan," kata Fadli, Sabtu (25/7/2020).
"Memperhatikan kontroversi di tengah masyarakat atas program ini, saya melihat program ini sebaiknya dihentikan saja," imbuhnya.
Baca: Kemendikbud: Taman Baca Tidak Perlu Izin Operasional
Fadli menjelaskan, setidaknya ada lima alasan kenapa program ini perlu dihentikan.
Pertama, payung hukumnya belum jelas. Menurut Komisi X DPR RI, anggaran POP ini sebenarnya belum disetujui DPR, karena pembahasan mengenai peta jalan pendidikan dengan Kemendikbud sendiri belum selesai dilakukan.
Kedua, soal kepantasan. Di tengah-tengah pandemi, Fadli menyiroti kepantasan Kemendikbud memprioritaskan program ini, yang pagu anggarannya mencapai Rp595 miliar.
Di tahun ajaran baru ini, di mana-mana banyak siswa kita ternyata kesulitan melakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ), karena keterbatasan ekonomi, infrastruktur listrik dan telekomunikasi, serta sumber daya lainnya.
"Masalah ini menurut saya jauh lebih mendesak untuk dipecahkan Kemendikbud ketimbang program POP," ucap Fadli.
"Anggaran yang sangat besar itu sebaiknya digunakan untuk membantu siswa, guru, serta penyediaan infrastruktur, termasuk di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar), agar kegiatan PJJ berjalan lancar dan semua siswa mendapatkan hak dalam menerima pembelajaran," lanjutnya.
Ketiga, proses seleksi bermasalah. Sejak awal, menurutnya, seleksi yang dilakukan Kemendikbud terbukti bermasalah.
"Saya membaca, awalnya ada organisasi besar sebenarnya tak ikut seleksi, tapi diminta untuk ikut oleh kementerian dua hari sebelum penutupan. Ini kan aneh dan sangat tidak profesional. Lalu, dalam proses seleksi administrasi, mereka sebenarnya juga tak lolos, tapi terus diminta ikut dan melengkapi persyaratan oleh panitia. Ada kesan organisasi massa besar diajak hanya untuk melegitimasi semata program ini," ujarnya.
Keempat, kementerian mengabaikan rekam jejak organisasi yang terlibat dalam program ini.
Menurut Fadli, basisnya hanya seleksi proposal melalui ‘blind review’, tanpa mengevaluasi latar belakang dan kompetensi organisasi pengusul.