TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Anis Matta lebih dikenal sebagai Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), di saat organsasi politik itu tengah dilanda goncangan kuat setelah pimpinan sebelummnya , Lutfhi Hasan Ishaaq (Presiden PKS periode 2010-2013), terjerat kasus korupsi impor daging sapi.
Namun Anis Matta kemudian memilih hengkang dari PKS dan mendirikan Partai Gelombang Rakyat (Gelora) bersama sejumlah kader PKS yang sehaluan dengan dirinya.
Lahir pada 28 Oktober 2019, Partai Gelora menerima surat keputusan (SK) sebagai badan hukum dari Kementerian Hukum dan HAM pada 2 Juni 2020. Setelah mendirikan Partai Gelora, Anis Matta bersama pengurus pimpinan nasional melakukan road show ke sejumlah tokoh, termasuk Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Dalam dua kali pertemuan dengan Jokowi, Anis Matta mengaku memberi masukan kepada Presiden terkait bakal munculnya krisis dan pandemi Covid-19 yang mengguncang seluruh sendi kehidupan masyarakat Indonesia, bahkan dunia.
Berikut petikan wawancara eksklusif dengan Anis Matta, di kantor Tribun Network, Jakarta, tepat di awal Tahun Baru 1442 Hijriah, Kamis (20/8).
Setiap kelompok yang mendirikan partai pasti tujuannya meraih kekuasaan. Seandainya saat ini Partai Gelora menjadi partai penguasa dan Anda jadi Presiden RI, apa yang akan Anda lakukan?
Krisis yang diakibatkan pandemi Covid-19 ini begitu besarnya sehingga berada di atas kapasitas pemerintah. Bahkan kalau kapasitas pemerintah dan oposisi digabung, masih belum dapat mengimbangi besarnya krisis itu.
Baca: Anis Matta Sebut Partai Gelora Terbuka Bekerja Sama dengan Semua Partai, Termasuk PKS
Kalau ditanya bagaimana menghadapi krisis ini, pemerintah dan oposisi sama-sama bingung. Daripada kita semua bingung bersama lebih baik kita duduk bersama lalu bicara untuk mencari solusi. Kalau saya jadi pemerintah, pertama mengurus managemen krisis. Soal ini sudah saya sampaikan ketika bertemu Pak Jokowi.
Menurut saya, seharusnya kita membuat tiga klaster dalam situasi krisis seperti saat ini. Klaster pertama yaitu klaster scientist (Ilmuwan). Kumpulkan para scientist besar di Indonesia menjadi satu tim. Biarkan mereka bermusyawaah untuk merumuskan makhluk apa yang namanya corona (covid-19) ini.
Beri saya bahan untuk mengambil keputusan.Mengapa? Masalahnya saat ini fatwa para scientist ini berbeda-beda. Akibatnya muncul ruang manipulasi yang sangat besar, sehingga bisa dipakai sebagai alat dagang.
Baca: Partai Gelora Ingin Jadikan Indonesia Kekuatan Kelima Dunia
Daripada Presiden melakukan banyak kesalahan dalam memberikan arahan, sebaiknya semua kebijakan bertumpu pada hasil musyawarah para scientis nasional itu. Ibaratnya bikin ijma.
Kedua bikin klaster geopolitik. Mengapa? Pademi covid-19 ini sekarang dipakai sebagai senjata dalam konflik geopolitik. Muncul operasi disinformasi yang membuat orang makin bingung-bingung, ini kan luar biasa. Kita harus punya pandangan dan sumber informasi akurat tentang apa yg sebenarnya terjadi secara global
Selanjutnya klaster ketiga yaitu kebijakan publik menyangkut kesehatan, pendidikan, pangan, dan ekonomi. Ancaman paling besar dalam situasi krisis seperti ini adalah negara harus menunjukkan dia capable (mampu).
Langkah kedua, kita harus berpikir seperti sedang berperang. Dalam kalkulasi perang ada kondisi ‘you can lose’ (kamu bisa kalah). Jadi kita harus mengasumsikan krisis ini lebih besar dari kapasitas kita. Artinya kita bikin asumsi kondisi ini akan berlangsung lama.
Sangat mungkin nanti muncul virus baru. Terlepas dari teori konspirasi, kita harus tetap menyediakan ruang di dalam pikiran kita, sesuatu yang lebih buruk bisa terjadi.
Langkah ketiga, pemerintah melibatkan seluruh komponen masyarakat. Mengapa? Krisis ini lebih besar daripada kapasitas pemerintah, tetapi belum tentu lebih besar dari kapasitas kita sebagai bangsa. Karena itu libatkan semua pihak.
Menurut Anda bagaimana ujung dari krisis akibat pandemi Covid-19 ini?
Ini satu jenis krisis yang tidak ada definisi akhirnya. Maksudnya tidak ada satu situasi yang bisa disebut berakhir. Krisis ini bersifat sistemik, multidimensi, berlarut, dan lama waktunya, dipicu pandemi Covid-19. Karena krisis ini sangat lama, yang kita perlukan proyeksi, forecasting (prakiraan) yang lebih akurat ke depan.
Saat ini pemerintah optimistis terhadap temuan vaksin yang sudah memasuki uji klinis ke-3 dan obat Covid-19 karya Universitas Airlngga, menurut Anda seperti apa?
Kita tentu punya alasan optimistis terkait vaksin uty. Sekarang, banyak negara tengah berlomba-lomba membuat vaksin Covid-19. Tapi itu semuanya berdiri di atas asumsi vaksin untuk satu jenis (virus).
Bagaimana kalau ada virus yang lain. Harus cari vaksin lagi kan. Kemungkinan terburuk seperti itu harus tetap dibuka. Perlu waktu untuk melakukan vaksinasi, termasuk persetujuan WHO (Organisasi Kesehatan Dunia).
Ketika melalui proses itu, tidak tertutup kemungkinan muncul virus lain sehingga muncul masalah baru lagi. Saya bukan termasuk orang yang pesimistis. Saya sangat optimis, tapi membiasakan diri mengantisipasi semua kemungkinan terburuk.
Apa saran Anda kepada masyarakat dalam situasi seperti ini?
Kita memerlukan basis spiritual yang kuat dalam situasi seperti ini. Kedua, jangan kehilangan akal. Harus ada ruang inovasi sebesar-besarnya. Kita mesti menemukan cara kita sendiri, ini yang saya maksud inovasi.
Muncul fenomena ada sebagian orang tidak percaya terhadap Covid-19, bahkan mengambil paksa jenazah pasien Covid-19 dan menciumnya. Menurut Anda, apa penyebabnya?
Orang sampai pada tingkat frustasi. Kita menjalankan PSBB (pembatasan social berskala besar) sejak Maret 2020. Orang mulai frustasi.
Ketika menjalankan program tetap berada di rumah (stay at home), living cost (biaya hidup) naik. Makanya saya bilang, orang sampai pada tingkat frustasi karena tidak diberi peta jalan.
Baca: Peringati HUT RI ke-75, Partai Gelora Gelar Gelora Kemerdekaan 2020 dan Launching API GELORA
Sebenarnya ini tugas pemerintah. Jangan mempertentangkan antara pergerakan publik dengan protokol kesehatan. Kita mesti mencari jalan tengah. Itu tugas klaster scientist. (dennis)