Laporan Wartawan Tribunnews.com, Wahyu Aji
TRIBUNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fitra Faisal mengatakan RUU Cipta Kerja merupakan upaya pemerintah menjawab tantangan perekonomian di Indonesia.
Menurutnya adanya RUU Ciptaker dapat menyelesaikan masalah dan tantangan dari sisi supply seperti lemahnya produktivitas dan rumitnya birokrasi.
"Kita lebih bermasalah di sisi supply yakni masalah produktivitas dan administrasi," kata Fitra saat dihubungi wartawan di Jakarta, Rabu (26/8/2020).
Baca: Presiden Jokowi: Semangat Reformasi Relevan untuk Hadapi Krisis karena Pandemi Covid-19
"Nah untuk membenahi itu memang butuh pendekatan yang jauh lebih institusional, tidak lagi menggunakan pendekatan yang sifatnya profesional. Maka dari sisi ini RUU Ciptaker itu memang harus ada," ujarnya.
Fitra menjelaskan salah satu yang dilakukan melalui pendekatan institusional yaitu memangkas birokrasi menjadi ringkas.
Hal itu sangat diperlukan guna meningkatkan produktivitas ekonomi dan tenaga kerja di Indonesia.
"Permasalahan kita dari sisi hulu. Bagaimana kemudian tenaga kerja kita, pertumbuhan produktivitasnya mandeg," ujar dia.
Fitra menyebut akibat rendah dan rumitnya birokrasi, Indonesia menjadi negara terendah kedua tingkat produktivitasnya di Asean.
Baca: Pimpinan DPR dan Baleg Temui Massa Buruh Tolak Omnibus Law Cipta Kerja
"Produktivitas kita nomor dua di Asean terendah, ini masalah yang harus di selesaikan secara institusional," tuturnya.
Fitra menuturkan bahwa adanya kebijakan RUU Cipta Kerja ini sudah tepat.
Sehingga kata dia, upaya terbaik adalah memperbaiki isinya bukan menolak RUU tersebut seluruhnya.
"Berarti kalau sudah begitu kita harus melihat bahwa omnibuslaw ini lebih ke arah gimana memperbaikinya, bukan menolak seluruhnya," tuturnya.
"RUU Ciptaker memang tujuannya adalah untuk menciptakan lapangan kerja. memperluas lapangan kerja dengan mendatangkan investasi," tambahnya.
Dia mencontohkan salah salah negara yang berhasil dengan mereformasi kebijakan ketenagakerjaannya seperti di Jerman melalui Harz Reform pada tahun 2000.
Menurutnya, Jerman berhasil menurunkan tingkat penganggurannya melalui aturan tersebut.
"Tapi ingat, kalau kita lihat dari Jerman, dia melakukan reformasi kenetanagakerjaan yang cukup signifikan, Jadi sejak awal tahun 2000 an, dia buat namanya Harz Reform," katanya.
Baca: Bantuan BLT Rp 600 Ribu Cair Akhir Agustus, Cek Data Peserta di BPJS Ketenagakerjaan
Fitra menuturkan melihat adanya RUU Ciptaker di Indonesia sama halnya dengan melihat Harz Reform di Jerman.
"Belajar dari situ, kita juga butuh melihat omnibus itu atau ciptaker itu seperti itu juga, tentang reformasi ketenagakerjaan, kalau kita bicara soal reformasi ketenagakerjaan berarti sebenarnya itu juga lintas sektor, berarti kita bicara namanya pendidikan, profesional shcool, itu juga dibenerin, termasuk sistem unemployment juga diberdayakan," ucapnya.
"Yang jelas ini win win situation, untuk tidak hanya para pengusaha tapi juga para pekerja," lanjutnya.
Lebih jauh, Fitra mengatakan bahwa dampak dari kebijakan RUU Ciptaker ini memang butuh waktu.
Dirinya menjelaskan, sama halnya seperti Harz Reform, dampaknya akan terasa sekitar 4-5 tahun mendatang.
Selain itu, RUU Ciptaker Kerja juga menjadi momentum dalam memanfaatkan bonus demografi di Indonesia yang akan berakhir hingga tahun 2030 mendatang.
"Kita kan dihadiahi adanya bonus demografi nih, dan akan habis secara teknis itu tahun 2030, dan sebelum habis maka harus di genjot momentumnya, kalau kita kalah momentumnya, jadi kita akan tua sebelum kaya," ucapnya.
Menurut Fitra banyaknya penolakan dari berbagai kalangan terkait adanya RUU Ciptaker ini lebih dikarenakan dibuatnya aturan ini tidak banyak melibatkan banyak orang.
Padahal, kata dia, aturan ini membahas banyak kebijakan di lints sektor. Hal itu yang membedakan antara RUU ciptaker dan Harz Reform di Jerman.
"Jadi kita lihat sekarang kenapa ciptaker ini banyak penolakan itu lebih karena banyak yang tidak terlibat, seperti top down, dan para pekerja dan akademisi juga sangat sedikit yang dilibatkan, nah ini yang menyebabkan banyaknya penolakan2 terhadap RUU Cipta kerja dan omnibus law pada umumnya," katanya.
"Padahal kita sebenarnya membutuhkan itu, jadi saya lebih melihat tidak menolak dan tidak menerima, kita memperbaiki apanyang ada sekarang, karena gimanapun kita butuh omnibus kita butuh RUU Cipta kerja, untuk meningkatkan produktivitas kita, yang kalau produktivitas meningkat, artinya kita bisa meningkatkan produktivitas ekonomi, itu pada akhirnya kira bisa menangkap momentum untuk keluar dari jebakan pendapatan menengah," ujarnya.