News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

KPK Dalami Kewenangan Kementerian BUMN Soal RUPS PT Dirgantara Indonesia

Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Eko Sutriyanto
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Plt Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ali Fikri menegaskan pihaknya tak pernah menetapkan Muhammad Nazaruddin sebagai justice collaborator yang kini telah bebas.

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merampungkan pemeriksaan mantan Wakil Menteri BUMN Mahmuddin Yasin dan eks Kabiro Hukum Kementerian BUMN Hambra, Senin (14/9/2020).

Kedua mantan pejabat BUMN itu diperiksa sebagai saksi kasus dugaan korupsi terkait kegiatan pemasaran dan penjualan di PT Dirgantara Indonesia tahun anggaran 2007-2017 untuk melengkapi berkas penyidikan dengan tersangka mantan Direktur Utama PT DI Budi Santoso.

Dalam pemeriksaan ini, tim penyidik mendalami mengenai kewenangan BUMN terkait Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT DI.

Terutama terkait pengesahan dokumen bagi mitra penjualan PT DI.

"Penyidik mengonfirmasi keterangan kedua saksi tersebut mengenai kewenangan kementerian BUMN dalam RUPS untuk pengesahan dokumen bagi mitra penjualan di PT DI," ungkap Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Senin (14/9/2020).

Baca: KPK Kembali Dalami Aliran Uang Korupsi di PT DI dari Pensiunan TNI AD

Usai diperiksa, Yasin enggan berkomentar banyak mengenai materi yang didalami penyidik. Yasin menyerahkan hal tersebut kepada koleganya, Hambra.

"Ke pak Biro Hukum (Hambra)," ucap Yasin Yasin di pelataran Gedung Merah Putih KPK Jakarta.

Sementara Hambra mengaku dicecar tim penyidik mengenai prosedur RUPS PT DI.

Hambra mengklaim hanya menjelaskan mengenai prosedur hukum PT DI.

"Prosedur RUPS. Kita hanya menjelaskan mengenai prosedur hukum, karena kita tidak terlibat di situ, jadi kita nggak tahu tentang fakta," katanya.

Baca: Selain Kasus Korupsi di PT DI, KPK: Dirut PT PAL Berpeluang Dijerat TPPU

Hambra mengaku tak mengetahui mengenai mekanisme pemasaran di PT DI.

Menurutnya, hal tersebut merupakan kewenangan internal PT DI.

"Itu kan internal perusahaan. Jadi prosedurnya kementerian tidak tahu," katanya.

Hambra mengklaim tidak tahu menahu mengenai adanya sejumlah dana kickbak yang mengalir ke direksi PT DI maupun pihak lain yang saat ini sedang diusut KPK.

Hambra menyebut, saat korupsi ini terjadi belum menjabat sebagai Kabiro Hukum Kementerian BUMN.

"Tidak tahu (dana kickback), tidak ada sama sekali pembicaraan itu dan tidak tahu apa-apa juga. Karena itu semua terjadi sebelum kita jadi Kepala Biro Hukum," katanya.

Dalam perkara ini, KPK menetapkan bekas Direktur Utama PT DI Budi Santoso dan mantan Asisten Direktur Utama PT DI bidang Bisnis Pemerintah Irzal Rizaldi Zailani sebagai tersangka.

KPK menduga Budi dan Irzal bersama sejumlah pihak telah merugikan keuangan negara sekitar Rp205, 3 miliar dan 8,65 juta dolar AS atau sekira Rp300 miliar terkait kasus tersebut.

Nilai kerugian negara itu berasal dari jumlah pembayaran yang dikeluarkan PT Dirgantara Indonesia kepada enam perusahaan mitra atau agen penjualan dan pemasaran dari tahun 2008 hingga 2018.

Padahal, keenam perusahaan tidak pernah melaksanakan kewajibannya sesuai dengan perjanjian.

Kasus korupsi ini bermula pada awal 2008, saat Budi Santoso dan Irzal Rinaldi Zailani bersama-sama dengan Budi Wuraskito selaku Direktur Aircraft Integration, Budiman Saleh selaku Direktur Aerostructure, serta Arie Wibowo selaku Kepala Divisi Pemasaran dan Penjualan menggelar rapat mengenai kebutuhan dana PT Dirgantara Indonesia (Persero) untuk mendapatkan pekerjaan di kementerian lainnya.

Dalam rapat  tersebut juga dibahas biaya entertaintment dan uang rapat-rapat yang nilainya tidak dapat dipertanggungjawabkan melalui bagian keuangan.

Setelah sejumlah pertemuan, disepakati kelanjutan program kerja sama
mitra atau keagenan dengan mekanisme penunjukkan langsung.

Selain itu, dalam penyusunan anggaran pada rencana kerja dan anggaran perusahaan (RKAP) PT Dirgantara Indonesia (Persero), pembiayaan kerja sama tersebut dititipkan dalam 'sandi-sandi anggaran' pada kegiatan penjualan dan pemasaran.

Budi Santoso selanjutnya memerintahkan Irzal Rinaldi Zailani dan Arie Wibowo untuk menyiapkan administrasi dan koordinasi proses kerja sama mitra/keagenan.

Irzal lantas menghubungi Didi Laksamana untuk menyiapkan perusahaan yang akan dijadikan mitra/agen.

Setelah itu, mulai Juni 2008 hingga 2018, dibuat kontrak kemitraan/agen antara PT Dirgantara Indonesia yang ditandatangani oleh Direktur Aircraft Integration dengan Direktur PT Angkasa Mitra Karya, PT Bumiloka Tegar Perkasa, PT Abadi Sentosa Perkasa, PT Niaga Putra Bangsa, dan PT Selaras Bangun Usaha.

Namun, atas kontrak kerja sama mitra/agen tersebut, seluruh mitra/agen tidak pernah melaksanakan pekerjaan berdasarkan kewajiban yang tertera dalam surat perjanjian kerjasama.

Pembayaran nilai kontrak tersebut baru mulai dibayarkan PT Dirgantara Indonesia kepada perusahaan mitra/agen pada 2011 atau setelah menerima pembayaran dari pihak pemberi pekerjaan.

Selama tahun 2011 hingga 2018, jumlah pembayaran yang telah dilakukan oleh PT Dirgantara Indonesia kepada enam perusahaan mitra/agen tersebut sekira Rp205,3 miliar dan 8,65 juta dolar AS.

Terdapat permintaan sejumlah uang baik melalui transfer maupun tunai sekira Rp96 miliar setelah keenam perusahaan tersebut menerima pembayaran.

Kemudian uang itu diterima oleh sejumlah pejabat di PT Dirgantara Indonesia, termasuk Budi, Irzal Rinaldi, Arie Wibowo, dan Budiman Saleh yang kini menjabat sebagai Direktur Utama PT PAL Indonesia.

Atas tindak pidana yang diduga dilakukannya, Budi Santoso dan Irzal Rinaldi dijerat dengan Pasal 2 atau Pasal 3 UU nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini