TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Setiap komunitas atau kelompok masyarakat Indonesia pasti mempunyai pemimpin atau sosok-sosok yang bersifat formal maupun informal, namun memiliki pengaruh di dalam komunitas atau kelompok tersebut.
Karena itu, Ketua Dewan Pembina Kelompok Studi Demokrasi Indonesia (KSDI), Maruarar Sirait, menilai bahwa itulah yang dimaksud oleh Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono, yang mau melibatkan pemimpin atau sosok-sosok yang berpengaruh di dalam satu komunitas atau kelompok masyarakat.
Dan pelibatan pihak-pihak ini sangat relevan dalam rangka ikut menertibkan warga masyarakat untuk disiplin dalam menjalankan protokol kesehatan.
"Contohnya di pasar, yang mengenal istilah jeger atau preman pasar. Nah bagaimana pihak-pihak yang mempunyai pengaruh informal di pasar itu diperankan secara positif sehingga dengan menjalankan protokol kesehatan tidak menjadi kluster penyebaran Cobid-19," ungkap Ara, sapaan akrab Maruarar, saat dikonfirmasi, Senin (14/9/2020).
Baca: Pro Kontra Pernyataan Wakapolri Libatkan Preman Pasar untuk Penegakan Protokol Kesehatan
Pasar, sambung Ara, hanyalah salah satu contoh dari satu kelompok atau komunitas di dalam masyarakat Indonesia.
Untuk kelompok atau komunitas tertentu bisa juga melibatkan tokoh-tokoh informal lain seperti tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh buruh, tokoh media dan lain-lain.
"Sebagai polisi intelektual, Wakapolri sangat memahami realitas masyarakat. Bukan hanya teori. Ini menunjukkan Wakapolri memahami situasi dan kondisi di lapangan," jelas Ara.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Indobarometer, M Qodari, memahami pernyataan Gatot dalam konteks bahwa untuk menyelesaikan masalah pandemi yang luar biasa ini membutuhkan partisipasi semua kalangan.
Termasuk Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Doni Monardo pernah menggunakan terminologi penta helix bahwa dalam menangani Covid-19 ini harus melibatkan banyak pihak seperti pemerintah, media, dunia usaha, dunia medis, media dan lain-lain.
"Itu menunjukkan bahwa memang untuk mengatasi Covid-19 ini perlu pastisipasi semua. Bahkan ingat gak, pernah muncul terminologi pertama kali bahwa sitausi ini dimana kita bisa menjadi pahlawan dengan cara diam di rumah aja, santai dirumh saja. Tak perlu angkat senjata atau angkat bambu runcing sperti jaman Belanda," jelas Qodari.
Karena itu Qodari memahami konteks pembicaraan Gatot ini bahwa dalam menghadapai pandemi ini perlu partisipasi semua pihak termasuk misalnya di pasar. Di dalam pasar itu pedagang, pembeli, pengelola, dan juga tokoh-tokoh infromal yang sering disebut jeger.
"Itu semua harus dilibatkan dan dan justeru melibatkan semua kalangan ini penting karena sekali lagi kita harus kolaborasi. Kalau satu pihak saja tidak mengikuti protokol Covid, tidak seirama, maka itu akan menjadi sumber penyebaran baik itu pedagang, pembeli, pengola atau tokoh-tokoh infromal," jelas Qodari.
Qodari menilai bahwa jeger adalah terminologi di lapangan dan memang harus dirangkul. Apalagi penyelesaiakn Covid-19 ini tidak mudah dan di lapangan ada pihak yang tak percaya Covid-19 bahkan menentang protokol Covid-19 dengan tak memakai masker.
"Termasuk di Amerika Serikat, Eropa atau Austalia juga ada. Bahkan ada yang menyebut IDI sebagai antek WHO. Itu kan realitas lapangan. Jadi inilah peristiwa yang harus melibatkan partisipasi semua kalangan, baik formal maupun informal," jelas Qodari.