TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terpidana korupsi kasus alih fungsi lahan di Provinsi Riau, mantan Gubernur Riau Annas Maamun, telah menghirup udara bebas pada Senin (21/9/2020) kemarin.
Kabag Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyakatan (Ditjen PAS) Rika Aprianti menerangkan, Annas keluar dari Lapas Klas I Sukamiskin pukul 11.00 WIB.
"Annas Maamun Bin Maamun bebas 21 September 2020. Lama pidana 7 tahun," kata Rika kepada Tribunnews.com, Selasa (22/9/2020).
Sebagaimana diketahui, Presiden Joko Widodo memberikan grasi kepada Annas Maamun.
"Grasi yang diberikan presiden berupa pengurangan jumlah pidana dari pidana penjara 7 (tujuh) tahun menjadi pidana penjara selama 6 (enam) tahun," kata Kepala Bagian Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM Ade Kusmanto, Selasa (26/11/2019).
Baca: Habiburokhman Nilai Annas Maamun Layak Mendapatkan Grasi
Perjalanan kasus Annas di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terbilang panjang.
Kasus ini pertama kali terungkap lewat operasi tangkap tangan (OTT) pada 25 September 2014.
Ketika itu, KPK menangkap Annas Maamun bersama seorang pengusaha kelapa sawit Gulat Medali Emas Manurung di kawasan Cibubur dengan barang bukti uang 156.000 dolar Singapura dan Rp500 juta.
Annas dan Gulat ditetapkan sebagai tersangka setelah OTT tersebut. Annas disangka menerima suap dari Gulat terkait perubahan alih fungsi hutan di Provinsi Riau.
Singkat cerita, Annas didakwa dengan dakwaan kumulatif di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung untuk tiga kepentingan berbeda.
Pertama, menerima suap 166,100 dolar AS dari Gulat Medali Emas Manurung dan Edison Marudut terkait kepentingan memasukan areal kebun sawit dengan total luas 2.522 hektar di 3 Kabupaten dengan perubahan luas bukan kawasan hutan di Provinsi Riau.
Kedua, menerima suap Rp500 juta dari Edison Marudut melalui Gulat Medali Emas Manurung terkait dengan pengerjaan proyek untuk kepentingan perusahaan Edison Marudut di lingkungan Provinsi Riau.
Ketiga, menerima suap Rp3 miliar dari janji Rp8 miliar (dalam bentuk mata uang dolar Singapura) dari Surya Damadi melalui Suheri Terta untuk kepentingan memasukkan lahan milik sejumlah anak perusahaan PT Darmex Agro yang bergerak dalam usaha perkebunan kelapa sawit, dalam revisi usulan perubahan luas kawasan bukan hutan di Provinsi Riau.
Majelis hakim menyatakan Annas bersalah dalam dakwaan pertama dan kedua, sedangkan dakwaan ketiga tidak terbukti.
Ia divonis 6 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider 2 bulan kurungan penjara.
Pada 2018, Annas mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Namun, kasasi ditolak dan MA memperberat hukuman Annas menjadi 7 tahun penjara.
Adapun kasus tersebut masih terus berjalan karena KPK telah menetapkan tiga tersangka baru.
Ketiganya yaitu PT Palma Satu sebagai tersangka korporasi, Legal Manager PT Duta Palma Group Tahun 2014 Suheri Terta, serta Pemilik PT Duta Palma dan PT Darmex Group Surya Damadi