"Maka, jika benar pernyataan Gatot Nurmantyo yang mengatakan dia diberhentikan menjadi panglima karena memutar film G30S PKI, maka patut diduga Gatot sedang memainkan gaya politik 'playing victim'."
"Ia tengah membangun opini publik seolah menjadi pihak yang teraniaya," ulas Karyono.
Di sisi lain, pernyataan Gatot yang meminta agar film G30S PKI produksi pemerintah Orde Baru diputar kembali, merupakan strategi propaganda yang dijadikan 'jualan' untuk mendapatkan keuntungan dan manfaat politik (political benefits).
"Dengan propaganda ini diharapkan dapat membangun empati dan simpati," tambah Karyono.
Ia juga menilai gaya politik Gatot yang getol menggunakan narasi komunis dan PKI, mirip gaya politik Orde Baru yang gemar 'jualan' isu komunis/PKI.
"Tetapi di lupa, bahwa momentumnya sudah lewat."
"Propaganda menggunakan narasi komunis/PKI tidak sama kondisinya ketika Orde Baru menggunakan narasi ini, karena momentumnya tepat."
"Karenanya, strategi propaganda Orde Baru sangat efektif untuk melanggengkan kekuasaan," imbuhnya.
Selain itu, propaganda isu komunis/PKI sudah tidak efektif untuk menaklukkan lawan politik.
Hal itu teruji ketika isu tersebut digunakan guna membendung laju dukungan PDIP dan Joko Widodo dalam beberapa kali pemilu.
Baca: Profil Muhammad Yunus Yosfiah, Purnawirawan TNI yang Hentikan Kewajiban Penayangan Film G30S/PKI
Propaganda isu komunis/PKI terbukti tidak mampu menaklukkan lawan politik yang diserang dengan isu tersebut.
"Jadi, menurut saya, pihak yang terus menerus menggunakan isu komunis dan PKI sebagai propaganda politik untuk tujuan berkuasa, adalah kelompok yang tidak mau belajar dari kegagalan."
"Mereka kurang kreatif dan inovatif dalam membuat propaganda yang lebih efektif dan simpatik," tutur Karyono.
Sebelumnya, mantan Panglima TNI Jenderal Purnawirawan Gatot Nurmantyo mengaku diminta tiga kali oleh Presiden Joko Widodo, untuk menjadi orang nomor satu di TNI.