News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Eksklusif Tribunnews

Gubernur Lemhanas : Komunisme Sudah Mati, Kalau Ada Gejala Tinggal Laporkan ke Pihak Berwenang

Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Theresia Felisiani
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Gubernur Lemhanas Letjen (Purn) Agus Widjojo berbincang dengan redaksi Tribunnews secara virtual di Kantor Lemhanas, Jakarta, Rabu (23/9/2020). TRIBUNNEWS/DANY PERMANA

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) Agus Widjojo berbicara mengenai isu Partai Komunis Indonesia (PKI) yang kerap muncul setiap tahun di bulan September dan sejumlah isu nasional lainnya. 

Dalam wawancara eksklusif bersama Tribun Network yang dipandu News Director Tribun Network Febby Mahendra Putra, News Vice Director Domu Ambarita, Staf Direksi Cecep Burdansyah dan News Manager Tribun Network, Rachmat Hidayat, Agus berbicara panjang lebar tentang PKI dan pandemi Covid 19.

Bagaimana PKI menjadi isu tahunan dan Covid 19 bisa mengganggu Ketahanan Nasional.

Sebagai putra Mayor Jenderal (Anumerta) Sutoyo Siswomiharjo yang menjadi korban 30 September 1965, Agus terlibat aktif dalam rekonsiliasi dan penguakan sejarahnya.

Ia adalah Ketua Dewan Pengarah Simposium Nasional "Membedah Tragedi 1965, Pendekatan
Kesejarahan" yang dilangsungkan tahun lalu.

Menurut Agus, isu komunis akan selalu digunakan oleh mereka yang mempunyai kepentingan tertentu dan hingga kini masih laku dijual untuk mencapai kepentingan politik.

"Komunisme di dunia itu sudah mati. Walaupun masih ada partai tunggal, partai
komunis, istilah-istilah itu masih ada," ujar Agus.

Gubernur Lemhanas Letjen (Purn) Agus Widjojo di Gedung Tempo, Palmerah Barat, Jakarta Selatan, Senin (16/12/2019). (Tribunnews.com/ Vincentius Jyestha)

Bulan September selalu ada isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI). Apa pendapat Anda tentang fenomena ini?

Pertama adalah bahwa payung hukum atau sebagian lebih senang menggunakan istilah dasar hukum untuk melarang menyebarkan ajaran dan paham komunisme, marxisme, leninisme, itu sudah kuat dari TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, yang sudah juga disertai dengan ancaman sanksinya.

Kalau ada gejala-gejala itu tinggal laporkan ke pihak berwenang untuk ditindak. Mungkin juga Undang-Undang itu tidak cukup konkrit untuk menjadi dasar indikator. Apa sih yang dikatakan sebagai usaha penyebaran ajaran dan paham komunisme, marxisme, dan leninisme. Bentuknya bagaimana?

Kalau orang mempunyai atribut palu arit apakah itu menyebarkan ajaran. Kalau orang punya buku tentang sejarah PKI dalam konteks politik sejarah Indonesia apakah itu
juga termasuk menyebarkan paham komunisme? Jadi harus lebih konkrit lagi untuk bisa dilihat di dalam kenyataan dan terukur.

Mungkin ini yang perlu kita lihat. Selama itu masih jadi perdebatan, itu pertanda Undang-Undang itu belum cukup konkrit untuk dijabarkan menjadi indikator-indikator yang bisa diukur. Jadi untuk negara kita payung hukum, dasar hukum, sudah sangat kuat. Tinggal ditegakan sejauh mana aparat kita, pemerintah mau menegakkan itu.

Kalau dilihat belum cukup efektif, apa permasalahannya?
Apakah memang Undang-Undang itu belum cukup kuat. Yang kedua, kita lihat bahwa komunisme di dunia itu sudah mati. Walaupun masih ada partai tunggal, partai komunis, istilah-istilah itu masih ada.

Baca: Gubernur Lemhanas Bilang, Ledakan 12 Juta Pengangguran Baru Akibat Covid-19 Tidak Akan Terjadi

Biasanya komunisme di masa lalu. Di masa perang dingin, di negara dunia ketiga, itu biasanya
berkait dengan komunisme internasional. Sedangkan sekarang gerakkan komunisme internasionalnya sudah tidak ada. Sehingga pertanyaannya apakah mungkin ada gerakkan komunisme nasional. Kemudian tujuannya apa. Mereka dapat dukungan dari mana. Secara politis sangat lemah. Mereka tidak akan mendapat dukungan dari siapapun itu.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini