News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Polemik Pengangkatan 2 Eks Tim Mawar Jadi Pejabat di Kemenhan, Jokowi Dinilai Ingkar Janji

Penulis: Nanda Lusiana Saputri
Editor: Daryono
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Presiden Joko Widodo (Jokowi) 26 September 2020

TRIBUNNEWS.COM - Pengangkatan dua eks Tim Mawar menjadi pejabat di Kementerian Pertahanan dan Keamanan (Kemenhan) menuai polemik.

Pasalnya, pengangkatan tersebut dinilai tidak sejalan dengan semangat reformasi.

Ada pula yang menilai, bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) ingkar janji.

Lantas bagaimana tanggapan sejumlah pihak terkait pengangkatan dua eks Tim Mawar menjadi pejabat di Kemenhan?

KontraS kecam pengangkatan eks tim mawar

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam keputusan Presiden Jokowi yang mengangkat dua anggota eks tim mawar sebagai pejabat di lingkungan Kemenhan.

Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti mengatakan, pengangkatan tersebut dinilai tak sejalan dengan agenda reformasi.

Selain itu, kata dia, hal itu juga mengenyampingkan prinsip-prinsip hak asasi manusia.

"Kebijakan ini menguatkan keyakinan bahwa Pemerintahan Joko Widodo sedang keluar jalur dari agenda reformasi."

"Dan mengenyampingkan prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam membuat keputusan," kata Fatia dalam keterangan tertulis, Sabtu (26/9/2020), seperti dikutip dari Kompas.com.

Baca: Bekas Anggota Tim Mawar Kini Jadi Pejabat Kementerian Pertahanan

Tim Mawar merupakan Grup IV Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD yang dipimpin Prabowo Subianto saat masih menjabat Komandan Kopassus.

Tim tersebut diduga menjadi dalang dalam opreasi penculikan aktivis jelang jatuhnya Soeharto pada 1998.

Prabowo yang kini menjabat sebagai Menhan baru-baru ini mengusulkan dua eks anggota tim tersebut sebagai pejabat Kemenhan.

Usulan tersebut telah disetujui Presiden Jokowi lewat Keputusan Presiden RI Nomor 166/TPA Tahun 2020.

Keduanya yakni, Brigjen TNI Yulius Selvanus sebagai Kepala Badan Instalasi Strategis Pertahanan.

Selain itu, Brigjen TNI Dadang Hendrayudha sebagai Direktur Jenderal Potensi Pertahanan.

Ketua Umum Partai Geridnra membacakan surat rekomendasi pasangan bakal calon Walikota dan Wakil Walikota Tangerang Selatan Muhammad dan Rahayu Saraswati Djojohadikusumo di kediaman Prabowo Subianto, Jakarta, Senin (20/7/2020). Partai Gerindra bersama PDI Perjuangan resmi mengusung pasangan Muhammad dan Rahayu Saraswati Djojohadikusumo sebagai bakal calon Walikota dan Wakil Walikota Tangerang Selatan pada pilkada serentak 2020. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

Berdasar catatan KontraS, Yulius dan Dadang sempat dihukum bersalah melalui Mahkamah Militer Tinggi (Mahmiliti) II Jakarta.

Yulius dihukum 20 bulan penjara dan dipecat dari dinas ABRI.

Sementara itu, Dadang dihukum 16 bulan penjara tanpa pemecatan.

Namun, dalam putusan tingkat banding, pemecatan terhadap Yulius dianulir hakim, sehingga keduanya masih menjabat aktif sebagai anggota militer.

Fatia menilai, bergabungnya kedua anggota eks Tim Mawar tersebut, ditambah Prabowo menjadi Menhan, menunjukkan tidak berjalannya mekanisme vetting dalam tubuh pemerintah saat ini.

Pengangkatan ini dianggap menambah daftar panjang bahwa saat ini lembaga-lembafa negara diisi oleh orang-orang yang memiliki masalah dalam pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu.

Baca: Usman Hamid Sebut Dua Pejabat Baru di Kementerian Pertahanan Pernah Terimplikasi Kasus Tim Mawar

Baca: Jokowi Diminta Cabut Keppres Pengangkatan Brigjen Yulius dan Brigjen Dadang Sebagai Pejabat Kemhan

"Sulit untuk membayangkan pelaksanaan aturan hukum yang sesuai standar dan termasuk penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat."

"Sementara pejabat publik terus diisi oleh aktor yang bertanggung jawab atas kasus-kasus tersebut," terang Fatia.

Selain berpotensi untuk melemahkan manka penegakan hukum di Indonesia, Fatia menilai hal tersebut juga dapat mendorong terjadinya kembali pelanggaran hak asasi manusia.

Tak hanya itu, hal ini juga akan mempersulit upaya perbaikan hukum di Indonesia.

Seperti ratifikasi Internasional Convention for The Protection of All Persons from Enforced Dissapearance (Konvensi Anti Penghilangan Paksa).

"Akan menyulitkan secara politik dengan bergabungnya aktor-aktor peristiwa penghilangan paksa di Indonesia dalam tubuh pemerintah," jelasnya.

Untuk itu, Fatia mendesak Jokowi mencabut Keppres pengangkatan dua Brigjen tersebut sebagai pejabat publik di Kemenhan.

"Tidak terkecuali juga terhadap pengangkatan Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan," lanjut Fatia.

Jokowi dinilai makin ingkar janji

Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid menilai Presiden Jokwoi telah melanggar komitmen terhadap upaya penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) yang dijanjikan semasa kampanye pilpres.

Sebab, Jokowi menyetujui masuknya dua eks anggota Tim Mawar sebagai pejabat di Kemenhan yang dipimpin Prabowo.

Baca: Mantan Anggota Tim Mawar Kopassus Sebut 2 Opsi Bebaskan Nelayan RI yang Ditawan Abu Sayyaf

"Presiden Jokowi akan semakin dinilai melanggar janjinya."

"Terutama dalam mengusut kasus penculikan aktivis dan penghilangan paksa serta pelanggaran HAM masa lalu di negara ini," kata Usman dalam keterangan tertulis, Jumat (25/9/2020) sebagaimana dikutip Tribunnews.com dari Kompas.com.

Menurut Usman, langkah Jokowi menyetujui pengangkatan eks anggota Tim Mawar itu menggenapi kesalahannya yang juga telah mengangkat Prabowo sebagai Menhan.

Presiden Jokowi, kata Usman, telah sepenuhnya menyerahkan kendali pertahanan negara kepada seseorang yang diduga terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk penghilangan paksa.

"Dan sekarang orang tersebut (Prabowo) melanjutkannya dengan mengangkat orang-orang yang terimplikasi hukum atas kasus penculikan yang pernah diadili di Mahkamah Militer," ungkapnya.

Usman menilai, hal ini telah mengirimkan sinyal yang mengkhawatirkan bahwa para pemimpin saat ini telah melupakan hari-hari tergelap dan pelanggaran terburuk yang dilakukan era Soeharto.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid (Nurmulia Rekso Purnomo/Tribunnews.com)

Padahal, Amnesty selalu menyerukan kepada pemerintah untuk memastikan bahwa kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu diselidiki secara menyeluruh dan diselesaikan sepenuhnya sesuai keadilan hukum.

"Alih-alih menempatkan mereka yang diduga bertanggung jawab pidana ke pengadilan."

"Pemerintah semakin membuka pintu bagi orang-orang yang terimplikasi pelanggaran HAM masa lalu dalam posisi kekuasaan."

"Ini bukan sekadar pragmatisme politik kekuasaan, tetapi juga penghinaan terhadap hak asasi manusia yang ditetapkan pada era reformasi," paparnya.

(Tribunnews.com/Nanda Lusiana, Kompas.com/Ihsanuddin)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini