Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Letjen TNI (purn) Agus Widjojo mengatakan hal yang sia-sia dan hanya membawa bangsa ini jalan di tempat ketika sibuk berdebat dan berpolemik tentang komunisme atau PKI yang menguat setiap tahun jelang 30 September.
Hal ini disampaikan Agus dalam Webinar tentang "Penggalian Fosil Komunisme untuk Kepentingan Politik?" yang digelar Political and Public Policy Studies (P3S) pada Selasa (29/9/2020) dalam aplikasi Zoom.
Baca: Gubernur Lemhanas : Komunisme Sudah Mati, Kalau Ada Gejala Tinggal Laporkan ke Pihak Berwenang
Hadir narasumber lainnya yakni Direktur Eksekutif Amnesty Usman Hamid, Direktur Eksekutif P3S Jerry Massie, Direktur Eksekutif LKIP Eduard Lemanto, Peneliti Senior CSIS J Kristiadi, dan moderator Frederik Bios.
Karena Agus menegaskan, konstitusi negara sudah sangat tegas dan jelas mengatur tentang larangan PKI. TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan UU Nomor 27 Tahun 1999 tentang Kejahatan Terhadap Keamanan Negara sudah cukup kuat untuk mengebiri perseorangan atau paham komunis diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.
Karena itu, memperdebatkan tentang PKI merupakan hal yang sia-sia dan hanya membawa bangsa ini jalan di tempat.
Baca: Hasto Tegaskan PDIP Komitmen dengan Pancasila, Anti Komunisme, Sekulerisme, Liberalisme, dan Fasisme
"Polemik yang menguras waktu tenaga dan pikiran dari aset bangsa yang sebenarnya diperlukan meningkatkan efektivitas usaha pembangunan nasional. Terasa sekali apabila sebuah postingan di sebuah media sosial ada provokatif direspons secara defensif oleh pihak yang berlawanan, maka proses balas membalas ini tidak ada habisnya," ucapnya.
"Dan terkadang juga argumentasi dari proses balas membalas postingan itu sangat tidak logis dan hanya bersifat terkadang juga sindiran kepada pengirimnya dan keluar dari substansi," kata dia.
Agus menjelaskan pula, polemik komunisme atau PKI yang menguat setiap tahun jelang 30 September itu hanya menguras dan mengorbankan tenaga serta pikiran generasi muda bangsa.
Seharusnya, generasi muda bangsa bisa memberikan tenaganya untuk efektivitas usaha pembangunan nasional.
"Wabah kebangkitan komunisme sulit tidak diakui untuk hadir setiap tahun menjelang tanggal 30 September atau 1 Oktober. Karena kemunculan berulang pada saat yang tetap itu, sulit dipungkiri bahwa isu tersebut sengaja dimunculkan untuk kepentingan politik," ujar Agus.
Memang Agus menyadari sejarah tentang PKI atau komunisme tidak bisa dihilangkan karena berhubungan dengan pikiran orang yang sulit untuk ditebak.
Selain itu ada juga pengalaman perseorangan tentang PKI sehingga membuat tulisan, memoar buku, atau mengadakan pertemuan dengan teman senasib pada zaman dulu.
Di samping itu, kata dia, ada juga yang menganggap dirinya anti-PKI merasa hal tersebut sebagai sebuah kebangkitan dari komunisme.
Lebih lanjut kata Agus, paham komunis merupakan antitesis dari kapitalisme. Komunisme bertujuan untuk mengatasi kemiskinan, pengangguran dan pengungsian, sebagai sistem dari hasil masa lalu. Karena itu, Agus menyarankan untuk menghadapi kebangkitan komunisme lebih baik menghilangkan segala isu yang berkaitan tentang kemiskinan dan pengangguran.
"Jadi bisa dikatakan di samping kita kewaspadaan yang langsung kita tujukan kepada ideologi komunisme, yang paling penting dan lebih penting adalah bagaimana pembangunan kita itu bisa memberikan untuk mengatasi kemiskinan pengangguran pengungsian, dan lebih penting lagi adalah di antara rakyat," jelas Agus.
Agus menganggap sejarah bangsa tentang PKI tidak bisa disimpulkan sebagai bagian untuk memposisikan mana pihak yang salah dan mana yang benar. Agus juga mengingatkan jawaban tersebut juga tidak perlu proses akademik. Agus juga menilai mewarisi polemik itu hanya akan merugikan generasi muda.
"Polemik semacam ini yang tidak mengandung pengertian akademik intelektual, tetapi lebih bersifat politis untuk menghancurkan lawan," tegasnya.(*)