TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Sejumlah kejanggalan disebut tampak dalam proses pemeriksaan kasus PT Asuransi Jiwasaraya (Persero).
Hal itu terungkap dalam nota pembelaan atau pledoi dari Syahmirwan, salah satu terdakwa dalam perkara ini.
“Jika kita cermati keseluruhan proses pemeriksaan perkara ini sejak awal dari mulai penyelidikan dan penyidikan di Kejaksaan Agung RI hingga pemeriksaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi ini, kita tidak bisa ingkari bahwa banyak ditemukan kejanggalan-kejanggalan terutama terkait tekhnis pengungkapan fakta yang tampak sengaja ditutup-tutupi atau sengaja tidak diungkapkan untuk mencapai target tertentu,” demikian isi pledoi eks Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Asuransi Jiwasraya (PT AJS) itu yang dibacakan dalam persidangan, Selasa (29/9/2020).
Syahmirwan, dalam pledoi itu, menyoroti sejumlah kejanggalan mulai penyelidikan dan penyidikan di Kejaksaan Agung hingga pemeriksaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Salah satu kejanggalan itu adalah tidak diperiksanya pemegang saham Asuransi Jiwasraya atau Kementerian BUMN yang dalam perkara ini bertindak sebagai pelapor.
Baca: Kejagung Periksa 5 Saksi dan 1 Tersangka Korporasi Terkait Korupsi Jiwasraya
Menurutnya, pada tahap penyelidikan dan penyidikan di Kejaksaan Agung, pemegang saham itu sama sekali tak dimintai keterangan.
Padahal, keterangan pemegang saham tunggal di Asuransi Jiwasraya itu sangat penting untuk mengetahui peristiwa materiel yang sebenarnya dalam perkara ini.
Salah satunya, sebut Syahmirwan, terkait adanya arahan Kementerian BUMN selaku pemegang saham kepada direksi AJS periode 2008-2018.
Saat itu pemegang saham meminta agar AJS harus tetap berjalan (going concern) kendati tengah dibelit problem insolvent neraca keuangan perseroan tercatat minus Rp 6,7 triliun.
Kondisi insolvent itu tampak pada awal 2008 atau ketika Hendrisman Rahim dan Hary Prasetyo ditunjuk sebagai direksi baru.
“Namun tidak ada satupun dari pihak pemegang saham (Kementerian BUMN) yang diperiksa dan dimintakan keterangan dalam perkara ini,” demikian tertulis dalam pledoi itu.
Kementerian BUMN juga, sebut Syahmirwan, juga harusnya dimintai keterangan terkait Laporan Keuangan serta Laporan Tahunan PT AJS pada 2018 dan 2017, serta terkait jumlah deviden yang sudah diterima pemerintah selaku pemegang saham.
Direksi Lainnya
Nota pembelaan Syahmirwan juga menyebutkan kejanggalan lain yakni tidak dihadirkannya dua direksi AJS lain.
Padahal, dua eks direksi AJS untuk periode 2008 – 2018 itu telah diperiksa penyidik Kejaksaan Agung.
Hal itu tertuang dalam Berita Acara Pemeriskaan (BAP) sebagaimana terdapat dalam Berkas perkara.
“Namun Penuntut Umum tidak menghadirkan mereka sebagai saksi untuk diperiksa dalam perkara ini di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Menurut hemat kami ini sungguh aneh “bin ajaib” karena keberadaan mereka sebagai saksi di persidangan ini penting dan sangat diperlukan guna mengetahui apakah Keputusan Direksi PT AJS (Pesero) sudah diambil secara collective collegial sesuai Anggaran Dasar PT AJS (Persero), apakah rapat Komite Investasi benar-benar ada atau hanya formalitas, apakah benar mereka tidak mengetahui keberadaan Joko Hartono Tirto, Heru Hidayat, dan Benny Tjokro Saputro terkait investasi PT AJS (Pesero ) sebagaimana didakwakan Penuntut Umum,” demikian tertulis dalam pledoi itu.
Dengan ketidakhadiran dua eks direksi itu, Syahmirwan dalam pledoin menyebut hal-hal yang menjadi pertanyaan tersebut akan tetap menjadi sesuatu yang tidak jelas (obscuur) secara materiel dalam perkara ini.
“Hal ini menimbulkan dugaan tentang adanya kepentingan Penuntut Umum untuk menyembunyikan fakta berkaitan dakwaannya, patut diduga bahwa dengan tidak menghadirkan kedua Direktur tersebut maka ada fakta materill yang justru melemahkan dakwaan Penuntut Umum dapat disembunyikan sehingga dengan demikian kepentingan dan target Pihak Kejaksaan bisa tercapai, kami berharap agar atas nama apapun kondisi seperti ini tidak bisa dibiarkan jika ingin menemukan keadilan dan kebenaran yang hakiki," ujarnya.