Berbekal koleksi buku yang ia miliki, Heri juga menemukan fakta menarik tentang brand Batik,
“Ternyata dalam kurun 50 tahun pernah dipakai empat badan usaha yang berbeda, yang tidak terkait satu sama lain,” ujarnya.
Ia menuturkan, Majalah Batik awalnya diterbitkan oleh GKBI (Gabungan Koperasi Batik) tahun 1950an. Lalu, Carnia Media Group menerbitkan majalah Batik tahun 2010.
Selanjutnya, brand Batik diterbitkan oleh PT Media Kria Batik Indonesia pada tahun 2015.
Terahir, brand Batik dipakai pada 2013 oleh maskapai penerbangan Batik Air dan namanya menjadi Batik Air The Inflight Magazine.
Selain itu batik menjadi suplemen artikel di beberapa Majalah seperti Tempo, National Geographic, Kriya hingga Majalah Bobo.
Klasifikasi berikutnya adalah buku-buku yang diterbitkan maestro batik, Iwan Tirta, Go Tik Swan dan H Santosa Doelah (Danar Hadi).
Adapula buku batik yang diterbitkan pelaku industri batik dari Yogyakarta, Solo hingga Pekalongan.
Klasifikasi yang terbanyak ada pada buku sesuai regional sentra-setra batik, mulai dari batik Sumatera, batik pesisir (Cirebon, Pekalongan, Lasem), batik Jawa Timur, hingga Madura.
Ada juga klasifikasi tentang tehnik batik, yang sebenarnya dibukukan pertama oleh penerbit Belanda.
Batik Indonesia pertama mendapatkan apresiasi tinggi di Eropa ketika batik dipamerkan pada tahun 1900.
Batik juga telah menjadi inspirasi kesenian yang lebih luas. Heri menyebutkan, Batik tak hanya didominasi pelaku Industri dan pecintanya, tetapi telah menjadi bagian sendi-sendi kehidupan berkesenian lainya, banyak judul-judul karya sastra; novel bahkan buku cerpen bertema batik.
“Ada salah satu koleksi buku novel yang diambil tahun 1951 yang dikisahkan kembali dari Film Remong Batik yang dibintangi Wolly Sutinah, produksi Warnasari Film Co. Jakarta,” kata Heri.
Koleksi yang sangat penting adalah koleksi 20 tahun GKBI, Gabungan Koperasi Batik Indonesia, yang beralamat di Jalan Sudirman No 28, yang kini menjadi gedung GKBI, seberang Semanggi, Jakarta pusat.