Dalam konteks ini, semestinya RUU Ciptaker bisa mengatur lebih spesifik terkait dengan labelisasi produk halal melalui Lembaga yang resmi dan disetujui.
Baca: Baleg DPR dan Pemerintah Rapat 64 Kali untuk Setujui RUU Cipta Kerja
Kelima, dalam bidang ketenagakerjaan Fraksi PAN belum melihat penjelasan lebih khusus mengenai aspek rencana penggunaan tenaga kerja asing, agar tidak menimbulkan multiinterpretasi, Fraksi PAN mengusulkan sebaiknya hal itu bisa dicantumkan secara spesifik dalam UU tersebut.
Keenam, Fraksi PAN menilai penghapusan ketentuan Pasal 64 dan 65 dalam UU Ketenagakerjaan yang memuat pengaturan mengenai dapatnya perusahaan menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis, dapat berimplikasi pada dimungkinkannya semua jenis pekerjaan untuk diborongkan tanpa adanya batasan tertentu.
Dengan demikian, kata dia, akan melahirkan banyak pekerja kontrak yang tidak terproteksi dengan fasilitas-fasilitas yang telah diakomodir dalam UU Ketenagakerjaan.
"Fraksi PAN menilai bahwa perusahaan-perusahaan nantinya bisa secara membabi buta menggunakan pekerja kontrak. Hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD RI 1945 bahwa 'Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan'," kata anggota Komisi IX DPR RI itu.
Ketujuh, dalam Pasal 88B dijelaskan upah ditetapkan berdasarkan satuan waktu dan/atau hasil.
Fraksi PAN menilai ketentuan ini berpotensi melahirkan persoalan baru dan ketidakadilan bagi kesejahteraan pekerja/buruh, di antaranya penghasilan yang diterima bisa berada di bawah upah minimum yang seharusnya didapatkan pekerja/buruh.
Karena itu, Saleh menegaskan Fraksi PAN menilai ketentuan tersebut hanya cocok diterapkan kepada pekerja profesional, bukan pekerja/buruh.
Baca: Fraksi Demokrat Walk Out Saat Rapat Paripurna DPR Sahkan RUU Cipta Kerja
Kedelapan, Fraksi PAN menilai jumlah pemberian pesangon adalah tetap sebanyak 32 kali gaji.
Hanya saja yang membuat berbeda ialah pesangon itu tidak saja dibayarkan oleh pemberi kerja, tetapi juga dibayar oleh Pemerintah.
Saat terjadi pemutusan hak kerja (PHK), pemberi kerja wajib membayar pesangon sebesar 23 kali gaji.
Sedangkan pemerintah membayar 9 kali gaji melalui skema Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
"Hal ini jelas meringankan beban yang harus dibayar pengusaha atau pemberi kerja, serta tidak mengurangi hak buruh dalam menerima pesangon," kata dia.
Namun, Fraksi PAN mengatakan skema ini perlu diatur dan diperdalam lebih lanjut. Sebab skema JKP ini direncanakan juga akan menyerap Anggaran Penerimaan Belanja Negara (APBN).
"Pandangan fraksi PAN ini telah disampaikan secara terbuka dalam rapat-rapat panja. Pandangan yang lebih lengkap juga disampaikan dalam rapat paripurna DPR RI. Fraksi PAN berharap agar kelahiran UU ini dapat membawa kemaslahatan dan kesejahteraan bagi masyarakat luas," tandasnya.