TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) diminta menjaga netralitas dan independensi kepolisian RI sebagai alat negara.
Hal tersebut menyusul diterbitkannya surat telegram rahasia (TR) terkait pelarangan aksi unjuk rasa buruh oleh Kapolri Jenderal Idham Azis.
"Kami mendesak Presiden sebagai pimpinan langsung Kapolri untuk tidak mengganggu netralitas serta indenpendensi yang seharusnya diterapkan Polri," kata Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati dalam keterangannya, Senin (5/10/2020).
Ia juga mengingatkan Kapolri Jenderal Idham Azis sebagai orang nomor satu di institusi polri.
Menurut Asfinawati, kepolisian adalah alat negara, bukan alat pemerintah.
"Kami mengingatkan Kapolri dalam UUD 1945 & amandemennya Kepolisian RI adalah alat negara dan bukan alat pemerintah. Selain itu Kepolisian dalam tugasnya menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum," jelasnya.
Baca: 12 Instruksi Kapolri soal Larangan Demonstrasi Buruh Tolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja
Lebih lanjut, ia meminta presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Kapolri Jenderal Pol Idham Azis menghormati UUD 1945 sebagai jaminan bahwa setiap warga negara berhak mengemukakan pendapat di depan umum.
"Kami meminta Presiden dan Kapolri untuk menghormati UUD 1945 & amandemennya serta UU 9/1998 yang menjamin hak setiap orang untuk menyampaikan aspirasinya termasuk pendapat di muka umum," ungkapnya.
Lebih lanjut, Asfinawati menilai 12 instruksi Kapolri Idham Azis soal larangan unjuk rasa penolakan Omnibus Law RUU Cipta Kerja dinilai bermasalah. Padahal, menyatakan pendapat di depan umum dijamin oleh Undang-undang.
Dalam poin 3 instruksi Kapolri misalnya, Idham Azis memerintahkan jajarannya mencegah, meredam dan mengalihkan aksi unjuk rasa yang dilakukan kelompok buruh maupun elemen aksi aliansinya guna mencegah penyebaran covid-19.
"Upaya ini diskriminatif karena menyasar peserta aksi. Padahal sebelum ini telah banyak keramaian yang bahkan tidak menaati protokol kesehatan seperti di perusahaan, pusat perbelanjaan bahkan bandara. Sebaliknya dua aksi tolak omnibus law sebelumnya terbukti tidak menimbulkan klaster baru Covid-19," bebernya.
Selain itu, Asfinawati juga menyoroti bagian kelima intruksi surat telegram tersebut.
Dalam poin itu dijelaskan, jajarannya diminta untuk melakukan patroli siber di media sosial dan manajemen media untuk bangun opini publik yang tidak setuju dengan aksi unras di tengah pandemi covid-19.
Kemudian pada poin 6, Kapolri memerintahkan jajarannya untuk melakukan kontra narasi isu-isu yang mendiskreditkan pemerintah.
Menurutnya, hal ini merupakan bagaian penyalahgunaan wewenang.
"Poin ini merupakan penyalahgunaan wewenang. Polisi tidak punya wewenang mencegah aksi. Menurut pasal 30 UUD 1945 & amandemennya tugas kepolisian menjaga keamanan dan ketertiban, bukan melakukan kampanye terhadap pemerintah.
Selain itu mendiskreditkan adalah tafsiran subjektif yang berpotensi menghambat kritik publik kepada Pemerintah. Kritik publik dalam demokrasi justru bermanfaat bagi kehidupan bernegara karena menjadi kontrol kekuasaan," tandasnya.