TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sebanyak 2 juta massa buruh dari 150 kabupaten/kota di seluruh Indonesia akan menggelar aksi mogok nasional selama tiga hari pada tanggal 6-8 Oktober 2020.
Aksi mogok kerja tersebut untuk menolak Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja klaster Ketenagakerjaan.
Menurut Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, mogok nasional adalah istilah yang digunakan oleh 32 federasi dan konfederasi serikat pekerja dalam menolak RUU Omnibus Law Cipta Kerja klaster Ketenagakerjaan.
Mogok kerja nasional dilakukan massa buruh melalui mekanisme UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh khususnya Pasal 4 yang menyebutkan bahwa fungsi serikat pekerja salah satunya adalah merencanakan dan melaksanakan pemogokan.
Baca: Hari Ini 5.000 Buruh Demo ke DPR Tolak Omnibus Low RUU Cipta Kerja, Aksi Berlangsung hingga Kamis
"Mogok kerja nasional adalah istilah, bentuknya unjuk rasa serentak secara nasional melalui mekanisme UU nomor 9 tahun 1998 dan UU nomor 21 tahun 2001 Tentang Serikat Pekerja. Bentuknya macam-macam, bisa mogok kerja ataupun unjuk rasa,” ucap Said Iqbal saat dihubungi, Minggu (4/10/2020) sore.
Dasar hukum aksi mogok nasional kaum buruh adalah UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan UU No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.
Said Iqbal menjelaskan, aksi mogok nasional serikat buruh dilakukan secara serentak mulai tanggal 6 Oktober 2020 di lingkungan kerja masing-masing.
Iqbal mengklaim aksi mogok nasional ini sudah mendapat izin dari Mabes Polri, Polres kota/kabupaten dan Polda setempat.
Baca: Tolak RUU Cipta Kerja, Serikat Pekerja: Ekonomi Tidak Dapat Pulih, Jika Pekerja Diberi Upah Murah
”Lokasi unjuk rasanya di lingkungan perusahaannya masing-masing. Dari pukul 06:00 WIB - 18:00 WIB. Tanggal 6 Oktober dan diakhiri tanggal 8 Oktober saat sidang Paripurna DPR. Dari 20 provinsi sudah konfirmasi akan mengikuti mogok nasional. Hampir lebih dari 150 kabupaten/kota diikuti oleh 2 juta buruh. Itulah jumlah yang masih kami dapatkan," kata Said Iqbal.
Iqbal menjelaskan, aksi mogok nasional ini dilatarbelakangi kekecewaan para buruh terkait pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja yang baru disepakati oleh Pemerintah dengan Badan Legislatif (Baleg) DPR RI pada Sabtu (3/10) malam. Said Iqbal menjelaskan, ada tujuh isu di dalam RUU Cipta Kerja yang ditolak serikat buruh.
Pertama, yakni terkait Upah Minimum Kabupaten (UMK) bersyarat dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten (UMSK) yang dihapus melalui Omnibus Law Cipta Kerja.
Said Iqbal berpendapat, UMK tidak perlu bersyarat dan UMSK harus tetap ada. Sebab, UMK tiap kabupaten/kota berbeda-beda nilainya.
Baca: Politikus Demokrat Sebut Pembahasan RUU Cipta Kerja Ibarat Ibu Hamil yang Dipaksa Melahirkan
”Akan sangat tidak adil jika sektor otomotif dan sektor pertambangan nantinya akan memiliki nilai UMK yang sama dengan perusahaan baju atau perusahaan kerupuk,” katanya.
Kedua, mengenai perubahan skema penyaluran pesangon melalui Omnibus Law Cipta Kerja. Dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja, pesangon berubah dari 32 bulan upah menjadi 25 bulan, 19 bulan dibayar pengusaha dan 6 bulan dibayar pemerintah lewat BP Jamsostek (BPJS).
Said Iqbal mempertanyakan dari mana BP Jamsostek mendapat sumber dana untuk membayar 6 bulan pesangon.