Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahdi Fahlevi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meminta usaha pembukaan lapangan kerja oleh pemerintah tidak boleh dengan cara komersialisasi seluruh sektor.
Hal tersebut dinyatakan PBNU melalui pernyataan sikap terhadap pengesahan UU Cipta Kerja yang ditandatangani oleh Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj dan Sekretaris Jenderal H Helmy Faishal Zaini.
"Niat baik membuka lapangan kerja tidak boleh dicederai dengan membuka semua hal menjadi lapangan komersial yang terbuka bagi perizinan berusaha," ujar Said dalam pernyataan sikap yang diterima Tribunnews.com, Jumat (9/10/2020).
Baca: PBNU Keluarkan 9 Poin Pernyataan Sikap Terkait UU Cipta Kerja
Salah satu sektor yang disorot oleh PBNU adalah pendidikan. Menurut Said, pendidikan tidak boleh dikelola secara komersial.
Said menolak pasal 65 UU Cipta Kerja yang memasukkan pendidikan kepada sektor yang terbuka dengan izin usaha.
Baca: Minta Pilkada Serentak 2020 Ditunda, PBNU: Kalau Dilanjut Berarti Kami Gugur dalam Berikan Masukan
"Sektor pendidikan termasuk bidang yang semestinya tidak boleh dikelola dengan motif komersial murni, karena termasuk hak dasar yang harus disediakan negara. Nahdlatul Ulama menyesalkan munculnya Pasal 65 UU Cipta Kerja, yang memasukkan pendidikan ke dalam bidang yang terbuka terhadap perizinan berusaha," kata Said.
Menurut Said, pasal ini bakal menjerumuskan pendidikan Indonesia ke dalam sistem yang kapitalistik.
Bahkan pendidikan dikhawatirkan hanya akan dapat diakses oleh golongan menengah ke atas.
"Ini akan menjerumuskan Indonesia ke dalam kapitalisme pendidikan. Pada gilirannya pendidikan terbaik hanya bisa dinikmati oleh orang-orang berpunya," pungkas Said.
Sebelumnya, penolakan terhadap masuknya klaster pendidikan ke dalam UU Cipta Kerja juga diungkapkan sejumlah elemen di dunia pendidikan.
UU Cipta Kerja Disahkan DPR, Sejumlah Organisasi Pendidikan Bereaksi
Bukan hanya serikat buruh atau pekerja yang menyuarakan menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja, sejumlah organisasi pendidikan pun bereaksi.
Alasannya dalam UU Cipta Kerja mengatur tentang klaster pendidikan.
Sebelum UU Cipta Kerja disahkan, DPR RI dalam pertemuannya dengan sejumlah organisasi pendidikan berjanji akan mencabut klaster pendidikan dari peraturan tersebut.
Buktinya, klaster pendidikan tetap masuk dalam UU Cipta Kerja.
Hal yang menjadi sorotan adalah Pasal 26 UU Cipta Kerja yang memasukan entitas pendidikan sebagai kegiatan usaha.
Baca: Respons Publik Sikapi UU Cipta Kerja: Gelombang Demo hingga Jual Murah Gedung DPR di Situs Online
Serta pasal 65 yang menyebut pelaksanaan pendidikan dapat dilakukan melalui perizinan berusaha.
Koordinator Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim mengatakan adanya UU Cipta Kerja menjadi jalan masuk kapitalisasi pendidikan.
"Tapi setelah membaca draft final UU yang sudah disahkan DPR ini, ternyata masih ada Pasal yang memberi jalan luas kepada praktik komersialisasi pendidikan," kata Satriwan melalui keterangan tertulis, Selasa (6/10/2020).
Dengan kata lain, menurut dia, UU Cipta kerja menjadi jalan masuk kapitalisasi pendidikan.
"Artinya pemerintah dapat saja suatu hari nanti, mengeluarkan kebijakan perizinan usaha pendidikan yang nyata-nyata bermuatan kapitalisasi pendidikan, sebab sudah ada payung hukumnya," kata Satriwan.
Satriwan mengatakan DPR sedang membuat lelucon atau prank kepada insan pendidikan.
Baca: Kritik Fadli Zon dan Fahri Hamzah Terhadap UU Cipta Kerja yang Baru Disahkan DPR
"Ini menjadi bukti bahwa anggota DPR sedang melakukan 'Prank' terhadap dunia pendidikan termasuk pegiat pendidikan," ucap Satriwan.
Hal senada juga datang dari Lembaga Pendidikan (LP) Maarif Nahdatul Ulama (NU).
Ketua LP Maarif NU, Arifin Junaidi mengaku kecewaa atas masuknya klaster pendidikan dalam UU Cipta Kerja.
Arifin mengatakan pihaknya sempat dijanjikan Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda bila klaster pendidikan bakal dihapus dari draft RUU Cipta Kerja.
Namun, nyatanya setelah disahkan klaster pendidikan masih ada di dalam UU Cipta Kerja.
Baca: Momen Mahasiswa Kecebur Saat Demo Tolak UU Cipta Kerja, Jadi Korban Kepanikan Setelah Robohkan Pagar
"Sebelumnya Ketua Komisi X DPR sudah menyampaikan kepada kami, melalui masyarakat bahwa soal pendidikan ini di-drop dari UU Cipta Kerja. Tapi ternyata masih tetap ada, karena itu kami tentu sangat kecewa. Kami merasa dipermainkan," ucap Arifin saat dikonfirmasi, Selasa (6/10/2020).
"Jadi saya tidak tahu ini, rezim apa ini, menganggap pendidikan sebagai komoditas yang diperdagangkan begitu," tambah Arifin.
Arifin mengatakan tidak selayaknya kegiatan pendidikan ditujukan untuk memperoleh keuntungan.
"Masa bunyinya pasal 65 itu pelaksanaan pendidikan dapat dilakukan melalui perizinan berusaha. Di dalam undang-undang itu izin usaha sama dengan izin usaha. Jadi ada upaya mencari laba," kata Arifin.
Padahal selama ini, Arifin mengatakan LP Maarif NU tidak pernah mengejar keuntungan dalam menjalankan pendidikan.
Menurut Maarif, aturan pada UU Cipta Kerja mensyaratkan izin usaha untuk pembukaan sekolah yang mengarah pada pencarian laba.
Dirinya menilai aturan ini akan mengancam pendidikan di daerah dan masyarakat menengah ke bawah.
"Kami ini kan banyak di desa di pelosok. Kami segmennya masyarakat menengah ke bawah. Jadi bisa mati ilmu sekolah madrasah kami, apa negara sanggup mengisi kekosongan itu kalau nanti kami gulung tikar," tegas Arifin.
Kritik terhadap UU Cipta Kerja pun datang dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI).
Sekretaris Jenderal FSGI Heru Purnomo menyayangkan masuknya pasal pendidikan pada Undang-undang Cipta Kerja.
Menurutnya, pasal ini berpotensi menjadi jalan masuk kapitalisasi pendidikan.
"Hal ini dikhawatirkan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) berpotensi menjadi jalan masuk kapitalisasi pendidikan," ujar Heru melalui keterangan tertulis, Rabu (7/10/2020).
Sama seperti yang lainnya, Heru menyoroti Pasal 26 dan Pasal 65 UU Cipta Kerja.
"Keberadaan pasal ini sama saja dengan menempatkan pendidikan sebagai komoditas yang diperdagangkan," ucap Heru.
Baca: UU Cipta Kerja: Pembahasannya Dipimpin Politisi Gerindra, Hasilnya Dikritik Fadli Zon
Hal yang sama diungkapkan anggota Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa Ki Priyo Dwiyarso.
Ia menegaskan menolak masuknya klaster pendidikan pada Undang-undang Cipta Kerja.
Menurut Priyo, pasal tersebut bertentangan dengan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan Azas Tamansiswa karena menjurus pada komersialisasi pendidikan.
"Ada usaha komersialisasi pendidikan dan kebudayaan, bertentangan dengan kewajiban pemerintah harus memberi hak tiap warga negara dalam memperoleh pendidikan," kata Priyo kepada Tribunnews.com, Selasa (6/10/2020).
Priyo mengatakan awalnya DPR setuju untuk mengeluarkan klaster pendidikan dalam UU Cipta Kerja.
Namun, pasal soal pendidikan kembali muncul dalam undang-undang tersebut.
Padahal dalam UUD 1945, pendidikan dikategorikan sebagai usaha nonprofit.
Rencananya, Tamansiswa bakal mengajukan uji materi atau judicial review terkait pasal tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Upaya ajukan judicial review kepada MK akan diupayakan oleh PKBTS bersama komunitas pendidikan utamanya dari kalangan NU dan Muhammadiyah," kata Priyo.
Penjelasan Baleg DPR
Menyikapi hal tersebut, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menegaskan Pasal 65 dalam Undang-Undang Cipta Kerja terkait pendidikan, hanya berlaku di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), tidak untuk wilayah lainnya.
Anggota Baleg DPR Fraksi Golkar Ferdiansyah mengatakan, izin usaha pendidikan dalam UU Cipta Kerja tidak seperti yang dikhawatirkan masyarakat, karena hanya mengatur konteks perizinan usaha dan berlaku di 15 KEK yang ditetapkan pemerintah.
"Lalu bagaimana dengan dunia pendidikan yang ada di luar Kawasan Ekonomi Khusus? Itu berlaku sama dengan yang sekarang, prinsipnya nirlaba. Tidak dalam konteks bukan nirlaba," ujar Ferdiansyah di komplek Parlemen, Jakarta, Rabu (7/10/2020).
Izin usaha pendidikan di KEK, kata Ferdiansyah, juga merupakan implementasi dari Perjanjian Umum Tarif dan Perdagangan (The General Agreement on Tariffs and Trade/GATT), dimana sektor pendidikan masuk dalam komitmen tersebut.
Baca: Politikus Gerindra: UU Cipta Kerja Tidak Sempurna Tapi Tak Seburuk Narasi di Medsos
"Pendidikan masuk hal jasa. Itu sebuah komitmen internasional dan kita bagian dari dunia internasional itu," paparnya.
Menurutnya, sekolah dasar hingga perguruan tinggi yang masuk ke KEK, harus menenuhi persyaratan khusus yang ditentukan dalam aturan turunan dari UU Cipta Kerja nantinya.
Selain itu, pihak yang akan berinvestasi sektor pendidikan di KEK, harus mendapat persetujuan dari pemerintah pusat.
"Kami juga tidak mau DPR RI memberikan cek kosong kepada pemerintah. Makanya juga ketika pembicaraan, kewenangan yang diberikan kepada pemerintah harus benar-benar untuk kepentingan rakyat," katanya.
Ferdiansyah menjelaskan, perguruan atau lembaga asing yang masuk KEK, harus mempunyai reputasi yang baik dan kredibelitasnya terpercaya.
Bukan, sekolah atau perguruan tinggi yang memiliki standar rendah.
Kemudian, tenaga pengajarnya pun tidak boleh diisi oleh warga asing semuanya dan wajib melakukan transfer ilmu ke tenaga pengajar yang ada di Indonesia.
"Tidak kalah pentingnya, jangan sampai terjadi infiltrasi budaya. Harus diwaspadai, supaya tidak mempengaruhi budaya yang ada di Indonesia," ujarnya.
"Ada niat baik dalam Undang-Undang Cipta Kerja, tinggal kita sama-sama mengawal peraturan lebih lanjut, apa yang menjadi perintah undang-undang ini," sambungnya.
Ferdiansyah pun kembali menegaskan, Baleg dan pemerintah selalu terbuka dan melibatkan masyarakat dalam membahas Undang-Undang Cipta Kerja, ketika masih dalam rancangan.
"Tidak ada yang ditutupi, tidak ada yang dihalangi. Selalu terbuka pembahasannya, bisa dipantau Youtube, Face Book, dan selalu direkam TV Parlemen," ujar Ferdiansyah
Diketahui, Pasal pendidikan dalam UU Cipta Kerja diatur di paragraf 12 tentang pendidikan dan kebudayaan. Berikut ini bunyinya:
Paragraf 12
Pendidikan dan Kebudayaan
Pasal 65
(1) Pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
(2) Ketentuan lebih lanjut pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. (Tribunnews.com/ Fahdi/ Seno)